Konon kegagalan membuat kita
belajar tentang banyak hal, terutama menghargai perjuangan. Kegagalan katanya membuat
kita menjadi pribadi yang semakin hebat ketika berhasil memetik hikmah dari
kegagalan itu. Kesakitan yang disebabkan oleh kegagalan katanya tak kan lagi
dapat kita ingat ketika bahagia membasuh lara. Namun, tidak semua orang gagal
dapat menjadi hebat. Tidak pula semua orang yang merasakan kesakitan menjadi
bahagia pada akhirnya. Setidaknya itu yang ku pahami, ku rasakan dan aku
renungkan.
Kalimat-kalimat itu tak lebih
dari bungkusan kekecewaan orang-orang yang gagal. Kata-kata itu hanya mengobati
luka mereka yang sempat tersakiti, tapi sebenarnya luka itu tak pernah sembuh. Ya,
tak akan pernah sembuh, sebab kegagalan yang mereka alami dan kesakitan yang
harus mereka terima tidak semuda itu hilang hanya dengan kalimat-kalimat yang
ku sebut “sampah” seperti itu.
Banyak hal sudah ku pahami, bahwa
tidak semua senyum itu mewakili kebahagiaan. Tak pula semua tangis itu mewakili
kesedihan. Tawa riang itu tak berarti keceriaan, begitu pun dengan raung tangis
juga bukan berarti kepedihan. Kehidupan ini palsu, kita semua tengah memainkan
peran kita sebagai actor yang dituntut sesuai dengan peran yang kita mainkan. Berpura-pura
tertawa agar dianggap bahagia, berpura-pura tegar agar dikatakan bijak dan
berpura-pura tangguh agar dibilang dewasa. Bukankah kehidupan yang seperti ini
yang tengah kita jalani? Bukankah sangat membosankannya menghadapi kehidupan
ini?
Lalu ketika hidup sudah
sedemikian membosankannya, seperti yang dirasakan oleh orang-orang sepertiku,
maka tak ada lagi yang harus diperjuangkan.
Hidup tinggal hanya sekedar tetap bernafas hingga waktu mengalahkan
kita. Aku punya cara hidup yang berbeda dari orang kebanyakan yang penuh
kepalsuan. Standar sikapku juga tak ingin ku samakan dengan mereka yang penuh
kepalsuan. Nilai dan norma yang mereka gadang-gadangkan toh tak pula mereka
junjung tinggi, dimataku itu semua hanya keterpaksaan mereka mentaatinya.
“ Ngapain?,” seseorang menepuk
pundakku lembut.
“ Owh ini, hanya mengarang bebas,”
jawabku sambil memperlihatkan rancangan novelku.
“ Busyet….sedih amat tulisanmu.
Tulis yang lebih ceria dong. Hari gini masih nulis yang sedih-sedih, udah nggak
laku kali” celotehnya.
“ Kehidupan itu lebih banyak
diisi oleh kesedihan, kalaupun ada kebahagiaan biasanya hanya mainan akal
pikiran kita saja. Tak ada orang yang benar-benar bahagia, semuanya palsu. Kreatifitas
manusia saja,” sahutku.
“ Sudah tiga tahun, kamu sampai
kapan begini terus memandang dunia? Kesedihanmu kemarin jangan sampai merampas
kebahagiaanmu hari ini,” Nasehatnya.
Aku
tak menanggapi nasehat Vina, sahabatku itu. Ku tinggalkan dia yang terus membaca
novelku. Sudah berkali-kali kami membicarakan hal yang sama sepanjang tiga
tahun ini. Apa yang tidak ku katakana padanya, dengan kalimat lembut hingga
bentakan pun pernah ku sahuti pernyataannya yang serupa itu. Namun tetap saja
Vina tak peduli, dia terus bicara hal seperti itu hingga aku pun sudah tidak
merasakan apa-apa lagi waktu mendengar kalimat serupa itu yang ia lontarkan.
Tiga tahun lalu, tepat ketika
Adit menghilang tanpa jejak dari hidupku. Tak ada kata putus, apalagi pamit. Dia
pergi menyisakan tanda tanya besar tentang kebenaran perasaannya padaku waktu
awal pacaran dulu. Entah ditelan bumi, atau menghilang di puncak gunung, sejak
tiga tahun lalu sudah tak ada lagi kabar terdengar darinya. Aku masih
menunggunya, bahkan hingga detik ini pun masih begitu. Bukan menunggu dengan
rasa cinta yang masih menggebu-gebu melainkan menunggu penjelasannya karena menghilang
tanpa kata.
Awalnya memang aku merasa sangat terpukul,
namun kelamaan aku bisa menerima bahwa memang pertemuan itu selalu diakhiri
dengan perpisahan. Bukankah cinta sekarang kamudian menjadi tidak cinta lagi
sedetik kemudian adalah hal yang lumrah? Ku pikir memang begitu watak lelaki
yang tak dapat dirubah. Lalu perlahan aku menyadari perubahan dalam diriku, aku
membenci dunia ini. Aku memusuhi Tuhan yang tak kunjung berdamai denganku.
Inilah kegagalan terbesarku,
kegagalan untuk menguasai perasaanku sendiri. Aku gagal untuk melupakan orang
yang sudah menyakiti hatiku. Aku gagal membencinya, walau aku tahu bahwa aku
berhak untuk membencinya. Sungguh, jika sekali saja aku bisa bertemu dengannya,
aku akan teriakkan betapa aku membencinya. Jika saja bisa berhadapan dengannya
beberapa detik, aku akan mencakarnya hingga ia tak bisa lagi mengagumi wajahnya
yang tampan. Upss….bahkan tiga tahun berlalu, aku masih saja menganggapnya pria
paling tampan. Benar-benar gagal move on.
Ketika ku ekspresikan
kesakitanku, dunia menggubrisnya dengan sinis. Mereka yang sok bijak memberi nasehat
seolah pernah berada di posisiku saat itu. Tak jarang pula yang terang-terangan
mencibirku karena menganggapku kekanak-kanakan. Ah…berulangkali aku mendoakan
mereka agar tak pernah merasakan perasaan yang ku alami ini. Aku yakin mereka
tidak akan mau bertukar tempat denganku ketika tahu bagaimana hatiku saat ini.
“ Satu hal yang harus kamu
lakukan, buka hatimu dan lupakan bahwa kegagalanmu itu sebagai salahmu,” kira-kira
begitulah nasehat mereka.
Mungin baginya mudah mengganti
hati seperti mengganti pakaian, tapi tidak denganku. Perasaan ini sudah
terlanjur dalam, aku tak dapat menghentikannya. Bahkan kepahitan ini pun tetap
saja tidak mampu membuatku membencinya dan berhenti menunggunya. Tiga tahun tidak
cukup untuk menghapusnya dari hatiku.
“ Pindahlah, di tempat yang baru
engkau akan menemukan kebahagiaanmu,” ada pula yang menasehatiku seperti itu.
Nasehat yang satu itu ku rasa ada
benarnya. Ku putuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamaku dan pindah ke kota
yang baru dengan harapan aku bisa memulai kehidupan yang baru. Kalaulah tak
bisa melupakan perasaan cinta, setidaknya aku berharap bisa menghilangkan
sedikit demi sedikit kepahitan dari kegagalan itu.
Kini aku sudah mendapatkan
pekerjaan baru, sebagai karyawan swasta disebuah perusahaan ternama. Aku mulai
mencintai pekerjaanku. Ku baktikan diriku untuk pekerjaan itu. Lembur sudah
terlalu akrab denganku. Bahkan aku suka mengerjakan pekerjaan mitra kerjaku
jika dia berhalangan hadir. Aku menikmatinya. Menikmati waktu yang bergulir
cepat ketika aku disibukkan oleh kerjaanku. Setidaknya perlahan-lahan Adit sudah
mulai menghilang dari benakku hingga akhirnya benar-benar menghilang.
Cinta memang sudah tak ada lagi,
tapi bukan berarti aku melupakan pelajaran berharga yang kudapat dari Adit. Apa
yang kau kira sudah kau miliki, bukan berarti benar-benar kau miliki. Ketika yang
kau rasa sudah kau miliki itu menghilang, maka harusnya kau siap akan
kehilangan itu. Jika takut akan kehilangan, jangan berani mencintai. Ya…aku
menutup hatiku dari siapapun. Toh kalau cinta itu tak berwujud, kenapa harus
menghabiskan waktu untuk memikirkannya?
Setahun berlalu, sampai akhirnya
aku merasakan ada kupu-kupu di perutku. Aku terjebak lagi, di lubang yang sama.
Sepertinya aku sudah jatuh cinta, dengan teman satu perusahaan. Dia yang selalu
ada untuk membantuku, diam-diam sudah menggoreskan kesan yang manis untukku. Pertemuan
yang intens, karena memang kami mitra kerja mungkin bisa jadi alasan tumbuh
benih-benih cinta itu.
Aku berusaha menghilangkan
perasaan itu, tapi usahaku nihil. Sulit menghapuskan sosoknya yang sudah
terlanjur masuk ke hatiku. Aku terus menyalahkan pertahananku karena goyah oleh
pesonanya. Ku hindari dia, tak lain hanya untuk menjaga hatiku agar tidak
terlalu jauh mencintainya. Cara itupun mentah, aku tetap melihatnya sebagai
seorang yang special di hatiku. Aku mulai membenci hatiku, aku membenci dirik.
Sungguh benci…
Tak lama aku menemukan cara untuk
menghilangkan perasaanku, yakni dengan mencari kekurangannya. Wajahnya tidak
terlalu tampan, perutnya sedikit buncit, suka merayu banyak karyawati di kantor
dan bacotnya itu seperti kompor meleduk. Aku mulai mengingat-ingat
kekurangannya agar aku bisa membencinya, tapi tetap saja itu tak berhasil. Aku tak
bisa membenci hal-hal buruk darinya. Perasaan itu terus menyiksaku, hingga
akhirnya ku putuskan untuk pindah lagi dari kota ini. (*)
NB: Kalau nggak suka endingnya,
bodo amat lah ya. Bikin cerita sendiri aja :p
Endingnya ga bagus,,, pergi gthu aja cm gara2 itu,,,,
BalasHapusTrus apa bedanya dgn adit,,,?? Tu cowok kan suka godaian karyawan yg lain, jd gr sendiri dunk,,,, :p
iya...makanya itu kadang ada orang yang jatuh ke lubang yang sama 2x dan tidak belajar dari kesalahan yang pertama :)
Hapusadit itu nyata nggak ya,,?
BalasHapusMenurutmu? :)
Hapus