Saat jatuh
cinta, kita mengalami fase dimana keegoisan seringkali mengalahkan akal dan
toleransi. Ketika mencintai, seringkali lupa bahwa tujuan utama dari cinta
adalah membahagiakan orang yang kita cintai, bukan hanya membahagiakan diri
sendiri. Ketika dicintai, seringkali kita alpa bahwa kita memiliki hutang untuk
membalas membahagiakan orang yang sudah mencintai dan mempersembahkan
kebahagiaan untuk kita. Kondisi yang demikian menjadi lumrah, sehingga
pemaknaan akan cinta pun menjadi beragam tergantung pada bagaimana
masing-masing orang menginterpretasikannya.
Membicarakan
cinta sama seperti beberapa orang buta menginterpretasikan seekor gajah, bagi
yang sempat meraba ekor, dia akan katakan gajah itu panjang dan ujungnya
berbulu. Namun bagi yang meraba badannya, dia akan berkata gajah itu sangat
besar dan tinggi, berbeda pula dengan si buta yang memegang belalai atau bagian
lain dari gajah. Ya, tidak ada satu pun dari mereka yang buta itu salah
mendeskripsikan gajah, begitupun dengan mereka yang menginterpretasikan cinta. Bagi
mereka yang dibahagiakan oleh cinta, tentu menginterpretasikannya sebagai
sebuah perasaan yang membahagiakan, namun bagi mereka yang gagal dalam cinta
akan menginterpretasikan cinta sebagai sebuah kesakita luar biasa.
Hampir semua orang
piawai ketika bicara cinta secara teoritis, tapi sebagian besar mengalami
kegagalan dalam cinta. Namun sudah seperti hal lumrah ketika orang lain
terlihat sangat bijak saat menasehati persoalan cinta orang lain tapi tidak
mengerti bagaimana mencari jalan keluar untuk persoalan cinta yang dia alami
sendiri. Persis seperti yang dialami Dita saat ini. Gadis itu merasa bingung
dengan keputusan yang akan diambilnya.
Kemarin malam,
tepat setelah shalat Isya Dita ditelpon oleh orangtuanya. Gadis itu diminta
untuk segera pulang ke kampung guna membicarakan lamaran atas dirinya yang datang
dari salah satu keluarga sahabat Ayahnya. Dia kaget, karena memang sebelumnya
tidak ada pembicaraan ke arah pernikahan. Terlebih lagi tidak pernah terlintas
dipikirannya untuk menjalani proses perjodohan sebelum menikah. Gadis itu tak
dapat berkata apa-apa sampai akhirnya ayahnya mengeluarkan sebuah pertanyaan
yang tak pernah ia sangka-sangka.
“ Kami sudah
mengenal pemuda itu begitupun dengan keluarganya. Mereka baik dan terpandang,
ku pikir kau pasti setuju dengan rencana inikan?,” Tanya Ayah.
“ Kau tak perlu
jawab sekarang, pikirkanlah beberapa hari ini. Jika sudah ada keputusanmu,
hubungi kami kembali,sayang,” serobot ibunya.
Dita cukup
beruntung malam itu, dia tak perlu menjawab pertanyaan Ayah yang sebenarnya
lebih mirip dengan pernyataan dari pada pertanyaan. Dia menutup pembicaraan
dengan suara yang masih tergagap-gagap. Rasa tak percaya membuat Dita mengernyitkan
dahinya beberapa menit sampai akhirnya menetes airmata di pipinya. Tatapannya datar,
dia tak terisak hanya saja air mata terus mengalir. Dibaringkannya tubuhnya
diatas ranjang sambil masih menggenggam ponselnya hingga akhirnya dia tertidur
tanpa menyeka air matanya.
Pagi menjelang,
sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela kamar. Cuaca pagi itu sangat
indah, tapi tak demikian dengan hati Dita. Dia terbangun dengan matanya yang
sembab dan suasana hati yang buruk. Dia menghela nafas panjang sebelum mulai
beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya terseret-seret, tampak berat sekali
hendak melangkah ke kamar mandi. Begitupun setelah selesai mandi, masih
tergurat kesedihan di wajahnya.
“ Pagi cantik.
Anak gadis kok pagi-pagi sudah melamun,” sapa ibu kos.
“ Ah tidak,bu. Hanya
sedikit mengantuk,” kilah Dita.
“ Semalam ibumu
menelpon, tapi kamu sedang Isya di masjid,” jelasnya.
“ Sudah,bu. Kami
sudah bicara semalam,” jawab Dita.
“ Ada
hubungannya dengan wajahmu yang ditekuk ini?,” si ibu kos mulai kepo.
“ Sedikit,”
jawab Dita.
“ Tentang
perjodohan?,” ibu kos berlagak seperti peramal.
Dita tersedak
karena kaget karena ibu kos mengetahui isi pembicaraan dia dan orangtuanya. Sempat
terlintas dalam benaknya bahwa ibu kos menguping pembicaraanya semalam, namun
cepat-cepat ibu kos menjelaskannya.
“ Ibu tidak
menguping, hanya menebak dan ternyata benar,”
“ bagaimana ibu
bisa menebak dengan benar?,” tanyaku penasaran.
“ mudah saja,
kamu sudah diusia yang pantas untuk menikah, karirmu sudah cukup mapan,
sementara kamu adalah anak perempuan paling besar dan kamu berasal dari
keluarga Minangkabau yang sudah akrab dengan system perjodohan. Ketebak sudah,”
sahut ibu Kos.
Ya, tak ada
satupun yang salah dari analisa ibu kos. Dita memang anak sulung dari keluarga
Minangkabau yang terkenal dengan perjodohannya. Ada banyak gadis Minang yang
menikah karena dijodohkan, sampai sekarang pun masih berlaku hal itu terutama
dalam keluarga Dita. Lebaran bulan lalu Mamak atau Paman, adik dari ibu Dita
sudah menanyainya tentang calon pasangan. Ujung-ujungnya membicarakan
pernikahan. Namun dengan santai Dita katakan bahwa ia masih ingin melanjutkan
kuliah dan belum ingin menikah dalam waktu dekat.
Dita tak
menyangka buah dari jawabannya itu harus ia tuai seperti ini. Dita harus
menjalani proses perjodohan yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya. Dia
berpikir bahwa zaman sudah modern, sistem begini harusnya tidak ada lagi. Dita berpikir
bahwa keluarganya memang masih kolot.
“ Kamu di
jodohkan? Wah pangeran tampan mana yang kurang beruntung itu?,” Ratih muncul
dari kamarnya.
“ Kamu ini
nguping aja,” sahut Dita.
“ Ku pikir ada
baiknya disetujui saja, ketimbang kamu berharap Andra terus-terusan. Selamat yaaaa,”
timpal Gadis, yang baru saja lewat dari ruang makan.
Dita hanya menjawab
dengan cengiran khasnya. Pikirnya akan melelahkan untuk menanggapi candaan
sahabat-sahabatnya itu, terlebih saat ini dia tidak punya selera humor yang
cukup baik. Dita mengemasi buku-bukunya kemudian berjalan menuju scooter
kesayangannya dengan bergegas. Setibanya di
kantor dia bertemu Andra di lobbi. Pria itu menghampirinya dengan tersenyum
sambil mengulurkan tangannya. Dita menyambut uluran tangan itu dengan tanda Tanya
besar dibenaknya. Sampai akhirnya dia tahu setelah Andra melanjutkan pembicaraannya.
“ Aku sudah
dengar tentang perjodohanmu, aku turut senang. Selamat ya. Nanti jangan lupa
undangannya,”
“ oh anu…tentang
itu sebenarnya aku belum memutuskannya,” jawab Dita.
“ Kenapa belum?
Bukankah dia pria yang baik?, apa dia tidak tampan?,” seloroh Andra.
“ Bukan, dia
cukup tampan dan memang pria yang baik tapi….,”
“ Tapi apa?,” Tanya
Andra.
“ Menurutmu
haruskah aku menerimanya?,” Dita malah balik bertanya.
“ aaa…anu…hmm…tentu
kalau memang kau suka,” jawab Andra.
Dita merasa
kecewa dengan jawaban Andra. Dia terluka karena Andra justru merestui
perjodohan itu. Dita sudah setahun ini menyukai Andra dan berharap lebih pada
pria itu. Namun dia hanya bisa mencintai Andra secara sembunyi-sembunyi karena
memang pria itu tak pernah menyatakan perasaannya pada Dita. Pikir Dita, Andra
hanya menganggapnya sebagai kawan.
Meski sangat
mencintai Andra, namun Dita tak mau terlihat agresif mendekati pria itu. Sebagai
gadis Minangkabau, dia memegang falsafah yang menganggap bahwa tidak
sepantasnya wanita mengejar pria. Tak elok jika Anau (Pohon Enau) yang mengejar
Sigai (tangga yang digunakan untuk memanjat pohon enau oleh petani).
Di Minangkabau,
perempuan diibaratkan sebagai Pohon Enau, dimana-mana Pohon itu pasif tidak
boleh bergerak. Sementara sigai lah yang harus aktif berpindah mencari enau
dari satu pohon ke pohon lain. Jika pohon enau yang mengejar sigai, tentu itu
bukan peristiwa yang lumrah. Begitulah wanita dalam pandangan sebagian
masyarakat Minangkabau, terutama dalam keluarga Dita. Karena ajaran
itulah, Dita tak pernah berani untuk mendekati Andra. Dia hanya mencintainya
dalam diam dan berharap suatu saat Andra yang akan menyatakan perasaanya. Sulit
bagi Dita untuk mengekspresikan perasaanya pada Andra. Mereka sudah terlalu
dekat, layaknya sahabat karib. Disaat Dita membutuhkan bantuan, Andra yang
selalu datang menolong dan begitupun sebaliknya. Kedekatan itulah yang
menimbulkan benih-benih cinta Dita. Sayangnya, pernyataan cinta yang ditunggu
Dita tak kunjung tiba.
“ Kalau begitu
akan ku pikirkan, mungkin memang harus ku jemput jodohku dengan cara begini,”
jawab Dita.
Kemudian Dita
meninggalkan Andra yang masih memandanginya hingga bayangan Dita benar-benar
sudah tak tampak lagi. Ada guratan kesedihan di mata Andra saat mendengar
jawaban Dita. Namun dia mencoba menepisnya. Dia pun mengikuti Dita hingga ke
meja kerjanya. Menggoda gadis itu dengan lelucon bodoh tentang perjodohan Dita
yang akhirnya membuat gadis itu tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya. Dia
membanting meja, kemudian keluar dari ruangannya. Andra hanya nyengir kuda
melihat kepergian Dita.
Beberapa menit
kemudian Dita kembali ke mejanya. Sambil memandangi laptopnya, Dita
mendengarkan pembicaraan Andra dengan Wenda, teman sekantor mereka. Wenda
menanyakan tentang kabar perjodohan Dita yang diketahui Andra dari Gadis. Dita
menguping sambil bergumam dalam hatinya. “ Awas kau,Gadis. Pulang nanti ku buat
perhitungan,”
Andra tak tahu
kalau Dita sudah kembali duduk di mejanya. Dia terus bercerita tentang kabar
yang dia dengar dari Gadis. Dengan ekspresi konyol dia berseloroh tentang
perjodohan itu yang membuat emosi Dita semakin terpacu. Namun cepat-cepat Dita
menguasai dirinya, tak ingin menangis di ruangan yang penuh dengan rekan
kerjanya itu.
“ Ku pikir kau
orang yang akan sangat kecewa mendengar kabar perjodohan Dita,” seloroh Wenda.
“ Gila, kenapa
aku harus sedih. Justru aku sangat senang karena dia bisa cepat menikah. Sudah waktunya
juga kan,” jawab Andra.
Dita tak kuasa
membendung air matanya. Dia sangat terluka mendengar jawaban Andra. Harapannya
pupus seketika itu juga. Pikirnya tak mungkin Andra mencintainya jika toh sudah
seperti itu kalimat yang dia dengar dari mulut Andra. Jelas sudah, penantiannya
harus diakhiri sampai disini. Tak ada alasan lagi untuk tetap menunggu Andra.
Dita menelpon
ibunya, menjelaskan bahwa dia bersedia menerima perjodohan itu dan meminta
ibunya mengatur rencana lamaran. Tanpa Dita sadari, Andra mendengar pembicaraan
mereka. Lelaki itu tertunduk lesu di mejanya, matanya berkaca-kaca. Hatinya
juga remuk mendapati kenyataan itu. Dia terluka, tak kalah perih dengan luka
yang dirasakan Dita saat ini.
Baik Dita dan
juga Andra sama-sama menyukai, namun mereka tak mengetahui perasaan satu sama
lain. Dita berpikir bahwa Andra tidak mencintainya, begitupun sebaliknya dengan
Andra. Mereka saling mendoakan kebaikan bagi orang yang mereka cintai, meskipun
tidak ada balasan atas perasaan mereka. (bersambung)
*Tungguin ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar