Rabu, 29 Oktober 2014

Jean (I)


Jean mengurung diri di dalam kamar. Dia menangis lagi, terus terisak-isak . Sudah 30 menit dia menangis dan meratap, namun belum ada tanda-tanda tangisnya akan mereda. Raungannya terdengar hingga ke ruang makan dimana anak-anak kos lainnya sedang berkumpul sambil menikmati goreng pisang buatan ibu kos. Tak ada yang menggubris atau bahkan mencoba menenangkan tangis Jean. Mereka tampak biasa-biasa saja meski tangis Jean semakin keras. Tak ada yang membahas Jean di meja makan, mereka sibuk dengan goreng pisang yang masih hangat.
Akhirnya Jean keluar kamar, entah berselang berapa menit setelah semua goreng pisang ludes dari piring. Matanya sembab, masih memerah. Namun di bibirnya sudah tersungging senyuman. Ya, senyuman kecut khas Jean yang sudah begitu hapal di benak anak-anak kos. Melihat Jean duduk bergabung dengan anak kosan, ibu kos menghampiri sembari menawari sepotong pisang goreng yang sudah mulai dingin. Jean menyambut dengan hangat, kemudian memakannya.
Begitulah, Jean si gadis “freak” teman kos ku. Dia bisa tiba-tiba menangis dan menjerit-jerit kemudian berubah menjadi bahagia seolah tak terjadi apa-apa. Sudah 3 tahun aku satu rumah dengannya, sudah tak lagi heran aku dengan perubahan moodnya yang ekspres. Tak ada yang mau berteman dengannya, bahkan untuk menegurnya saja mereka enggan. Hanya aku yang masih mencoba berbasa-basi dengan Jean. Sekedar melempar senyum atau menanyakan kabar saat kami berpapasan, itupun bila aku sudah tak bisa menghindar lagi.
 “ Bagaimana, enak?,” tanya Bu kos pada Jean.
“aaa?,” Jean tampak linglung.
“ Goreng pisangnya enak?,” tanya Bu Kos
“ Asin,” jawab Jean kemudian meninggalkan pisang goreng yang masih tersisa beberapa gigitan lagi.
Jean kembali masuk ke kamarnya, entah apa lagi yang ia perbuat di kamar. Tak ada yang bisa membaca pikiran Jean. Lebih tepatnya mungkin tak ada yang mau membaca pikiran Jean. Dia gadis yang aneh menurut anak-anak kos. Tidak hanya misterius dan pendiam, dia bahkan terkesan jutek karena seringkali omongannya pedas di telinga. Ya, seperti apa yang ia ucapkan pada bu kos malam ini tentang pisang goreng. Tega-teganya dia mengeluarkan kata asin, padahal ibu kos sudah membuat pisang goreng itu dengan susah payah.  Memang sih goreng pisang itu terasa asin, tapi setidaknya kami berusaha menghargai bu kos dengan menyantap menu itu tanpa sisa.
“ Dia sedikit ketus, tapi dia yang paling jujur diantara kita,” ujar bu kos sambil memandangi punggung Jean yang berlalu menuju kamarnya.
“ hmmm,” aku tak tahu harus berkata apa.
“ Kalian ini bandel, pisang goreng segitu asin malah dilahap habis. Pura-pura bilang enak pula,” omel bu kos sambil mencubit lenganku.
Aku mengusap-usap lenganku sambil mengerang kesakitan. Erangannya sengaja dikeraskan seolah seperti menahan sakit karena digebukin massa. Sambil nyengir aku memeluk ibu kos dari belakang lalu minta maaf. Ibu kos merajuk, pura-pura merajuk sih lebih tepatnya. Seperti ibu yang merajuk pada anak-anaknya yang bandel. Kemudian dia tersenyum sembari membalas pelukanku.
Suara barang pecah mengakhiri kemesraan ibu dan anak. Kami terkejut dan sontak mencari sumber suara. Ternyata dari kamar Jean. Entah barang apa lagi yang ia pecahkan. Guratan kekesalan nampak di wajah anak-anak kosan yang lain. Bahkan salah satu dari mereka, Mira, tak tahan lagi untuk berkomentar.
“ Kesurupan jin apa lagi teman ko. Macam dia tinggal di hutan, tak dipikir orang terganggu,” celutuknya.
“ Sudah, kembali ke kamar kalian. Nggak usah dipikirin,” sahut ibu kos sembari menggerakkan tangannya seperti menghalau anak ayam.
Serempak kami langsung masuk ke kamar masing-masing, begitupun aku. Di dalam kamar, aku masih terus kepikiran Jean. Selama 3 tahun menjadi teman satu kos, sudah tak terhitung berapa kali dia bertingkah aneh seperti itu. Beberapa diantara kami bahkan sempat berpikir untuk membawanya ke psikiater. Tingkahnya dianggap seperti orang tidak normal dan perlu bantuan dokter kejiwaan. Namun rencana itu selalu ditentang ibu kos. Beliau tidak setuju dengan rencana anak-anak kos karena menganggap bahwa prilaku Jean masih dibatas kewajaran.
Bagiku memang sedikit berlebihan jika kami membawanya ke psikiater, namun aku masih bisa memahami maksud baik anak-anak kos. Setidaknya mereka masih punya sedikit perhatian pada Jean. Mereka mungkin ingin Jean bisa berbaur layaknya kawan-kawan lainnya dan dapat bersikap lebih terbuka. Setidaknya aku mencoba berpikir positif terhadap usulan kawan-kawan untuk membawa Jean ke psikiater. Aku tak ingin mempercayai pemikiran liarku bahwa dibalik rencana membawa Jean ke psikiater adalah kamuflase agar Jean bisa dikeluarkan dari kos. Tentu saja itu bukan hal yang nyata, tidak mungkin teman-teman setega itu pada Jean.
Memikirkan Jean membuat kepalaku yang sejak tadi siang sudah sakit menjadi semakin berdenyut. Ku lirik obat sakit kepala yang ada di atas meja belajar. Disampingnya ada gelas kosong. Ku hembuskan nafas panjang. Beberapa detik kemudian aku melangkah ke luar kamar hendak mengisi gelas kosong itu dengan air minum di dapur.
“ Aku sudah tidak kuat serumah dengan dia. Makan hati kita. Bisa-bisa kita ikut-ikutan seperti dia. Seram...,” ujar seseorang dari kamar Mira yang persis berada disebelah kamarku.
Ku intip ke dalam kamar, pintunya tidak tertutup sempurnah. Di dalam kamar ada Sherly dan Agustin juga. Mereka sedang berbincang serius, ku pikir mereka tengah membicarakan Jean. Tak tertarik dengan pembicaraan mereka, aku putuskan untuk melangkah ke dapur. Namun langkahku terhenti ketika Mira memanggil namaku. Aku berbalik, Mira dan Sherly ternyata sudah nongol dari balik pintu kamar. Sambil tersenyum aku menunjuk ke arah gelas yang ku genggam, mencoba menyampaikan pesan bahwa aku tidak berencana menguping, hanya kebetulan lewat untuk mengambil air.
“ Kak, masuklah sebentar. Kami nak bicara,” ajak Mira.
“ Nak bicara ape?,”   sahutku menirukan dialek Mira yang merupakan perantauan dari tanah Melayu.
“ Kita mesti bawa Kak Jean ke psikiater. Macam mana menurut, Kak?,” ketiga pasang mata mengarah padaku. Mengharap aku menyetujui usulan mereka.
“ Tapi kata Bu Kos....,”
“ Tak perlu kita lapor bu kos, kita-kita saja yang bawa,” potong Sherly.
“ Aku rasa kita benar-benar berlebihan kalau membawa Jean ke psikiater,” jawabku.
Guratan kekecewaan terlukis di wajah ketiga junior ku itu. Mereka kecewa karena aku menentang usulan mereka. Bahkan Agustin menghela nafas panjang, seperti orang yang berusaha menenangkan diri. Ia yang sejak tadi hanya diam kemudian mulai membuka suara.
“ Berlebihan bagaimana, tindakan Kak Jean sudah diluar ambang batas kewajaran. Dia seperti orang depresi. Kami tak sanggup tinggal berlama-lama dengan orang seperti itu,” ujarnya dengan intonasi agak tinggi.
“ Kalau kalian tak sanggup, kalian bisa keluar dari kosan. Setidaknya itu yang akan disampaikan bu kos pada kalian,” tambahku.
“ Kenapa begitu? Masa bu kos mau kehilangan 4 anak kos hanya untuk mempertahankan satu orang?,” celutuk Sherly.
Ku ceritakan kepada ketiga gadis itu bagaimana anak kos sebelum mereka berupaya mengusir Jean dari kosan. Segala cara sudah mereka lakukan mulai dari meminta dengan baik-baik sampai akhirnya mengancam ibu kos untuk mengusir Jean jika tidak maka mereka semua terpaksa angkat kaki dari kosan. Ada 13 anak kos yang memiliki niat untuk pindah jika permintaan mereka tidak dituruti ibu kos. Namun tak bisa diterima akal sehat, ibu kos justru memilih agar anak-anak itu yang pindah ketimbang mengusir Jean. Selama dua bulan kosan hanya dihuni oleh aku dan Kak Rita yang saat itu memilih untuk bertahan.
Kak Rita memang saat itu tetap bertahan bukan karena peduli pada Jean atau setuju dengan keputusan bu kos, tapi karena dia akan menikah dalam waktu 2 minggu. Akan sangat merepotkan jika dia harus ikut pindah sementara dalam 2 minggu dia akan diboyong suaminya ke Kalimantan. Sementara itu, aku bertahan juga bukan karena aku peduli pada Jean. Aku bertahan karena saat itu aku baru membayar uang kos selama 1 tahun di awal.
Masih kental diingatanku saat hari pertama aku masuk ke kosan, disaat itu pula Jean mengamuk dan memecahkan barang-barang di kamarnya. Nyaliku menciut kala itu, terbayang aku menjadi target amukan Jean jika berlama-lama tinggal di kosan. Namun apa boleh buat, aku sudah terlanjur membayar uang kos 1 tahun di muka.Dari hari itu hingga sekarang, ternyata ketakutanku tidak terbukti. Aku dan anak kos yang lain tidak pernah menjadi korban amukan Jean. Ya, walaupun dia sering menangis dan mengamuk, setidaknya dia melakukannya saat dia di kamar. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya mengamuk di luar kamar.
“ Jadi apa yang harus kita lakukan?,” tanya Sherly gusar.
“ Besok aku akan pindah,” jawab Agustin dengan mantap.
“ Aku juga,” timpal Mira. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar