Selasa, 19 Agustus 2014

Boleh Galau Sebelum Mencoblos



Kerumunan massa memadati lapangan Imam Bonjol. Lapangan itu kini dihiasi oleh bendera-bendera berwarna dan berlambang partai politik. Beberapa orang yang berdiri di panggung menjadi pusat perhatian ribuan massa. Mereka itu para petinggi salah satu partai politik dan para kader partai yang sedang menyampaikan orasinya . Ya, begitulah suasana kampanye yang dilakukan oleh salah satu partai politik yang dinyatakan lulus verfikasi administrasi dan factual oleh KPU.
Ramai sekali lapangan itu, bahkan untuk mencari parkiran pun menjadi lebih sulit dari hari-hari biasanya. Mamaku yang saat itu sedang mencari parkir sempat mengomel karena tidak juga menemukan tempat kosong untuk mobil kami. Padahal kami harus buru-buru menjemput jahitan yang akan dipakai oleh saudari sepupuku untuk akad nikahnya siang itu juga.
“ Huff…penuh. Nggak ada parkir yang kosong,” celetuknya.
“ Mama turun aja dulu ngambil jahitannya, aku tunggu di mobil. Nanti kalau ada yang mau keluar, biar aku minta tolong tukang parkirnya,” usulku.

Mama langsung turun dari mobil dengan membawa tasnya. Aku hanya duduk di dalam mobil sambil memperhatikan massa yang ramai memadati lapangan. Sayup-sayup terdengar orasi yang disampaikan kader parpol dari dalam mobil. Sebagian dari pesannya dapat ku mengerti, namun sebagian lagi aku tak begitu paham karena bahasanya agak politis jika dipandang dari kacamataku sebagai siswa SMA. Namun setidaknya aku paham bahwa para kader berupaya menggalang suara agar menang dalam pemilu 2014.
Tiba-tiba kaca mobil di ketuk, seorang tukang parkir mengisyaratkan agar aku membuka kaca mobil. Dia kemudian meminta agar aku menepikan mobil dilahan parkir yang sudah kosong di ujung jalan. Ku katakan bahwa aku tak bisa mengendarai mobil dan meminta bantuannya untuk parkir. Beruntung tukang parkir ini mahir mengendarai mobil sehingga tanpa butuh waktu lama mobil sudah terparkir dengan aman.
Aku kemudian turun dari mobil dan mendekati tukang parkir tadi. Ku ajak bicara sekedar basa-basi. Topiknya pun tak jauh dari kampanye yang sedang berlangsung. Namun diluar dugaanku, tukang parkir justru sangat piawai bicara tentang partai politik dan pemilu yang akan dilakukan. Ya, setidaknya jauh lebih mengerti dibandingkan denganku sebagai pemilih pemula.
“ Pemilu itu milih presiden apa partai sih,da?” tanyaku polos.
“ Tergantung, kalau April ini kita pilih calon legislative, nah kalau September nanti kita pilih Presiden,” jawabnya.
“ Presiden pilihan Uda yang seperti apa?,” tanyaku lagi.
“ Yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik,” jawabnya.
“E…buset diplomatis banget ya jawabannya. Boleh juga ni orang, gue aja nggak tau mesti jawab apaan. Boro-boro mikirin Indonesia, mikirin hidup gue aja belon kepikiran,” gumamku.
“ Udah tahu mau pilih parpol apa,da?” tanyaku lagi.
“ Belum, masih mikir kira-kira partai mana yang memang kompeten,” jawabnya.
“ E…buset. Kompeten, apaan tuh?,” ujarku dalam hati.
“ Nah adek sendiri udah tahu mau pilih parpol mana?,” si uda balik bertanya.
“ Belum,da. Habisnya parpolnya kebanyakan, lebih banyak dari kawan-kawan sekelas,” jawabku.
“ Lha, emangnya sekelas nggak lebih dari 10?,” tukang parkirnya garuk-garuk kuping.
“ Ada 40,da. Kan parpolnya ada 48, lebih banyakkan,” jawabku sok yakin.
“ Kamu dapat info dari siapa parpolnya 48?,” kali ini uda tukang parkir tak bisa menyembunyikan kegeliannya.
“ Loh, itu waktu pelajaran Sejarah dibilang parpol ada 48,” jawabku.
“ Haha…adik nggak cek itu tahun berapa? Haha adik ini lucu,” ledeknya.
“ E buset, diledek loh gue,” gumamku.

Karena nggak mau kalah, akhirnya aku mengeluarkan ponselku dan mulai browsing tentang parpol yang akan berlaga dalam pemilu 2014. Ternyata jumlahnya bukan 48 parpol seperti tahun 1999, melainkan hanya 13 parpol. Mukaku makin merah padam karena menahan rasa malu. Namun aku berpura-pura santai saat si tukang parkirnya mulai buka cerita lagi tentang harapan-harapannya terhadap pemimpin Indonesia yang baru. Beruntung percakapan itu tidak terlalu lama, sebab Mama akhirnya datang. Dengan perasaan lega, aku meninggalkan si tukang parkir.
Di dalam mobil aku bertanya banyak pada Mamaku tentang pentingnya memberikan suara saat pemilu nanti. Sebab sebelumnya aku berpikir tak ada untungnya memilih kalau toh Indonesia hanya begini-gini aja dimana kemiskinan masih banyak, pembangunan tidak merata bahkan korupsi berjamaah semakin menjadi-jadi. Rasanya akan sulit untuk merubah sistem yang telah ada saat ini.
“ Kita harus memilih, demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Ya pastinya demi kehidupan Indonesia yang lebih baik lagi. Kalau masyarakatnya apatis dan golput, kapan kita bisa mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bermartabat di mata Internasional,” ujar Mamaku.
“ Tapi ada yang bilang kalau siapapun yang akan terpilih nantinya juga akan korupsi. Itu partai Islam saja kadernya diduga korupsi sapi, nah yang partai nasionalis juga korupsi. Buat apa capek-capek milih,” tanyaku.
“ Ya itu makanya kita butuh pemimpin yang bisa membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pilih dengan cerdas, periksa track record-nya. Kalau udah nggak beres, jangan dipilih. Pilih calon jangan karena tampang, status, harta atau karena dia dibesarkan oleh media tapi pilih yang benar-benar terbukti kompeten,”
“ Nah lo, si Mama juga bicara kompeten. Apaan sih artinya?,” gumamku dalam hati.
“ Berkompeten itu maksudnya berkualitas secara ilmu, praktek dan berakhlak. Jadi, kalau Cuma janji ini janji itu tapi kemampuannya nggak diperlihatkan ya jangan dipilih. Apalagi calon yang Cuma menang karena pencitraan oleh media, sudah jelas nggak akan berkualitas,” Mama menambahkan.
Mama kemudian menjelaskan bagaimana sosok pemimpin yang ideal untuk negaranya, yakni pemimpin yang pro terhadap rakyat. Pemimpin yang tahu apa kebutuhan masyarakatnya. Kebijakan yang diambil semata-mata demi kebaikan masyarakat bukan kepentingan golongan.
“ Pemimpin itu juga harus amanah, kalau tidak maka hancurlah bangsa ini,” tegas Mama.
Tak terasa kami sudah tiba dikediaman saudari sepupuku. Tenda dan pelaminan sudah selesai didirikan. Calon pengantin pun sudah selesai dirias, tinggal mengenakan kebaya yang baru saja kami ambil dari binatu. Setelah menyerahkan kebaya, aku duduk di teras belakang. Kebetulan disana tempat yang cukup sepi dibandingkan ruangan lain yang sudah dipenuhi oleh tamu dan sanak saudaraku yang lain.
“ Rani…ngelamun aja nih,” suara seseorang mengagetkanku.
“ Hehe aku lagi mikirin pemilu. Kak Sandra sudah tahu mau pilih siapa dan partai apa?,” tanyaku.
“ Sudah dong tapi rahasia. Yang pasti pilih partai yang bersih dari korupsi, caleg yang berkualitas dan capres yang tegas,”
“ lha tau dari mana parpolnya bersih korupsi dan calonnya berkualitas dan tegas?,”
“ Aduh, kamu itu anak muda nggak sih. Itu ponsel pintar buat apa dibeli mahal-mahal kalau Cuma buat jejaring sosial aja. Dibikin yang bermanfaat dong,sayang. Cari tuh info tentang parpol dan calonnya. Gampang kok buat dinilai mereka bermutu apa kagak. Kalau munculnya Cuma pas musim pemilu, ya jangan dipilih yang begitu,”  jawabnya sambil mencubit pipiku.
“ hehe iya, yah. Biasanya browsing Cuma buat cari gossip artis atau kalau nggak buat twitteran doang. Nggak mutu banget ya. Sudah saatnya nih generasi muda berubah,” jawabku penuh semangat.
“ Anak muda zaman sekarang kalau soal cinta galau mampus. Coba diarahkan galaunya mencari pemimpin masa depan pasti lebih mutu,” tukasnya.
Ternyata persoalan politik itu menarik jika mau dipelajari. Barangkali remaja seusiaku sudah kadung menganggap bahwa politik itu rumit dan licik sehingga sudah antipati terlebih dahulu. Mungkin itu juga alasannya kenapa banyak pemilih pemula yang golput alias tidak memilih.
Ada benarnya juga kata pepatah kalau tak kenal maka tak sayang. Jika remaja tidak berusaha mengenal politik, pemilu dan urusan kenegaraan lainnya maka bagaimana mungkin kita bisa menumbuhkan semangat patriotisme dan nasionalisme di hati kita. Justru yang ada kita akan tumbuh menjadi generasi bangsa yang apatis dan egois. (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar