Kerumunan massa memadati lapangan Imam Bonjol.
Lapangan itu kini dihiasi oleh bendera-bendera berwarna dan berlambang partai
politik. Beberapa orang yang berdiri di panggung menjadi pusat perhatian ribuan
massa. Mereka itu para petinggi salah satu partai politik dan para kader partai
yang sedang menyampaikan orasinya . Ya, begitulah suasana kampanye yang
dilakukan oleh salah satu partai politik yang dinyatakan lulus verfikasi
administrasi dan factual oleh KPU.
Ramai sekali lapangan itu, bahkan untuk mencari
parkiran pun menjadi lebih sulit dari hari-hari biasanya. Mamaku yang saat itu
sedang mencari parkir sempat mengomel karena tidak juga menemukan tempat kosong
untuk mobil kami. Padahal kami harus buru-buru menjemput jahitan yang akan
dipakai oleh saudari sepupuku untuk akad nikahnya siang itu juga.
“ Huff…penuh. Nggak ada parkir yang
kosong,” celetuknya.
“ Mama turun aja dulu ngambil
jahitannya, aku tunggu di mobil. Nanti kalau ada yang mau keluar, biar aku
minta tolong tukang parkirnya,” usulku.
Mama langsung turun dari mobil dengan membawa
tasnya. Aku hanya duduk di dalam mobil sambil memperhatikan massa yang ramai memadati
lapangan. Sayup-sayup terdengar orasi yang disampaikan kader parpol dari dalam
mobil. Sebagian dari pesannya dapat ku mengerti, namun sebagian lagi aku tak
begitu paham karena bahasanya agak politis jika dipandang dari kacamataku
sebagai siswa SMA. Namun setidaknya aku paham bahwa para kader berupaya
menggalang suara agar menang dalam pemilu 2014.
Tiba-tiba kaca mobil di ketuk, seorang tukang parkir
mengisyaratkan agar aku membuka kaca mobil. Dia kemudian meminta agar aku
menepikan mobil dilahan parkir yang sudah kosong di ujung jalan. Ku katakan
bahwa aku tak bisa mengendarai mobil dan meminta bantuannya untuk parkir.
Beruntung tukang parkir ini mahir mengendarai mobil sehingga tanpa butuh waktu
lama mobil sudah terparkir dengan aman.
Aku kemudian turun dari mobil dan mendekati tukang
parkir tadi. Ku ajak bicara sekedar basa-basi. Topiknya pun tak jauh dari
kampanye yang sedang berlangsung. Namun diluar dugaanku, tukang parkir justru
sangat piawai bicara tentang partai politik dan pemilu yang akan dilakukan. Ya,
setidaknya jauh lebih mengerti dibandingkan denganku sebagai pemilih pemula.
“ Pemilu itu milih presiden apa
partai sih,da?” tanyaku polos.
“ Tergantung, kalau April ini kita
pilih calon legislative, nah kalau September nanti kita pilih Presiden,”
jawabnya.
“ Presiden pilihan Uda yang seperti
apa?,” tanyaku lagi.
“ Yang bisa membawa Indonesia ke
arah yang lebih baik,” jawabnya.
“E…buset diplomatis banget ya
jawabannya. Boleh juga ni orang, gue aja nggak tau mesti jawab apaan. Boro-boro
mikirin Indonesia, mikirin hidup gue aja belon kepikiran,” gumamku.
“ Udah tahu mau pilih parpol
apa,da?” tanyaku lagi.
“ Belum, masih mikir kira-kira
partai mana yang memang kompeten,” jawabnya.
“ E…buset. Kompeten, apaan tuh?,”
ujarku dalam hati.
“ Nah adek sendiri udah tahu mau
pilih parpol mana?,” si uda balik bertanya.
“ Belum,da. Habisnya parpolnya
kebanyakan, lebih banyak dari kawan-kawan sekelas,” jawabku.
“ Lha, emangnya sekelas nggak lebih
dari 10?,” tukang parkirnya garuk-garuk kuping.
“ Ada 40,da. Kan parpolnya ada 48,
lebih banyakkan,” jawabku sok yakin.
“ Kamu dapat info dari siapa
parpolnya 48?,” kali ini uda tukang parkir tak bisa menyembunyikan kegeliannya.
“ Loh, itu waktu pelajaran Sejarah
dibilang parpol ada 48,” jawabku.
“ Haha…adik nggak cek itu tahun
berapa? Haha adik ini lucu,” ledeknya.
“ E buset, diledek loh gue,”
gumamku.
Karena nggak mau kalah, akhirnya aku mengeluarkan
ponselku dan mulai browsing tentang parpol yang akan berlaga dalam pemilu 2014.
Ternyata jumlahnya bukan 48 parpol seperti tahun 1999, melainkan hanya 13
parpol. Mukaku makin merah padam karena menahan rasa malu. Namun aku
berpura-pura santai saat si tukang parkirnya mulai buka cerita lagi tentang
harapan-harapannya terhadap pemimpin Indonesia yang baru. Beruntung percakapan
itu tidak terlalu lama, sebab Mama akhirnya datang. Dengan perasaan lega, aku
meninggalkan si tukang parkir.
Di dalam mobil aku bertanya banyak pada Mamaku
tentang pentingnya memberikan suara saat pemilu nanti. Sebab sebelumnya aku
berpikir tak ada untungnya memilih kalau toh Indonesia hanya begini-gini aja
dimana kemiskinan masih banyak, pembangunan tidak merata bahkan korupsi
berjamaah semakin menjadi-jadi. Rasanya akan sulit untuk merubah sistem yang
telah ada saat ini.
“ Kita harus memilih, demi mewujudkan cita-cita
kemerdekaan Indonesia. Ya pastinya demi kehidupan Indonesia yang lebih baik
lagi. Kalau masyarakatnya apatis dan golput, kapan kita bisa mewujudkan
Indonesia yang sejahtera dan bermartabat di mata Internasional,” ujar Mamaku.
“ Tapi ada yang bilang kalau siapapun yang akan
terpilih nantinya juga akan korupsi. Itu partai Islam saja kadernya diduga
korupsi sapi, nah yang partai nasionalis juga korupsi. Buat apa capek-capek
milih,” tanyaku.
“ Ya itu makanya kita butuh pemimpin yang bisa
membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pilih dengan cerdas, periksa track record-nya. Kalau udah nggak
beres, jangan dipilih. Pilih calon jangan karena tampang, status, harta atau
karena dia dibesarkan oleh media tapi pilih yang benar-benar terbukti
kompeten,”
“ Nah lo, si Mama juga bicara kompeten. Apaan sih
artinya?,” gumamku dalam hati.
“ Berkompeten itu maksudnya berkualitas secara ilmu,
praktek dan berakhlak. Jadi, kalau Cuma janji ini janji itu tapi kemampuannya
nggak diperlihatkan ya jangan dipilih. Apalagi calon yang Cuma menang karena
pencitraan oleh media, sudah jelas nggak akan berkualitas,” Mama menambahkan.
Mama kemudian menjelaskan bagaimana sosok pemimpin
yang ideal untuk negaranya, yakni pemimpin yang pro terhadap rakyat. Pemimpin
yang tahu apa kebutuhan masyarakatnya. Kebijakan yang diambil semata-mata demi
kebaikan masyarakat bukan kepentingan golongan.
“ Pemimpin itu juga harus amanah, kalau tidak maka
hancurlah bangsa ini,” tegas Mama.
Tak terasa kami sudah tiba dikediaman saudari
sepupuku. Tenda dan pelaminan sudah selesai didirikan. Calon pengantin pun
sudah selesai dirias, tinggal mengenakan kebaya yang baru saja kami ambil dari
binatu. Setelah menyerahkan kebaya, aku duduk di teras belakang. Kebetulan
disana tempat yang cukup sepi dibandingkan ruangan lain yang sudah dipenuhi
oleh tamu dan sanak saudaraku yang lain.
“ Rani…ngelamun aja nih,” suara seseorang
mengagetkanku.
“ Hehe aku lagi mikirin pemilu. Kak Sandra sudah tahu
mau pilih siapa dan partai apa?,” tanyaku.
“ Sudah dong tapi rahasia. Yang pasti pilih partai
yang bersih dari korupsi, caleg yang berkualitas dan capres yang tegas,”
“ lha tau dari mana parpolnya bersih korupsi dan
calonnya berkualitas dan tegas?,”
“ Aduh, kamu itu anak muda nggak sih. Itu ponsel
pintar buat apa dibeli mahal-mahal kalau Cuma buat jejaring sosial aja. Dibikin
yang bermanfaat dong,sayang. Cari tuh info tentang parpol dan calonnya. Gampang
kok buat dinilai mereka bermutu apa kagak. Kalau munculnya Cuma pas musim
pemilu, ya jangan dipilih yang begitu,”
jawabnya sambil mencubit pipiku.
“ hehe iya, yah. Biasanya browsing Cuma buat cari
gossip artis atau kalau nggak buat twitteran doang. Nggak mutu banget ya. Sudah
saatnya nih generasi muda berubah,” jawabku penuh semangat.
“ Anak muda zaman sekarang kalau soal cinta galau
mampus. Coba diarahkan galaunya mencari pemimpin masa depan pasti lebih mutu,”
tukasnya.
Ternyata persoalan politik itu menarik jika mau
dipelajari. Barangkali remaja seusiaku sudah kadung menganggap bahwa politik
itu rumit dan licik sehingga sudah antipati terlebih dahulu. Mungkin itu juga
alasannya kenapa banyak pemilih pemula yang golput alias tidak memilih.
Ada benarnya juga kata pepatah kalau tak kenal maka
tak sayang. Jika remaja tidak berusaha mengenal politik, pemilu dan urusan
kenegaraan lainnya maka bagaimana mungkin kita bisa menumbuhkan semangat
patriotisme dan nasionalisme di hati kita. Justru yang ada kita akan tumbuh
menjadi generasi bangsa yang apatis dan egois. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar