Kamis, 03 September 2015

Cerpen: AKU


 
Konon kegagalan membuat kita belajar tentang banyak hal, terutama menghargai perjuangan. Kegagalan katanya membuat kita menjadi pribadi yang semakin hebat ketika berhasil memetik hikmah dari kegagalan itu. Kesakitan yang disebabkan oleh kegagalan katanya tak kan lagi dapat kita ingat ketika bahagia membasuh lara. Namun, tidak semua orang gagal dapat menjadi hebat. Tidak pula semua orang yang merasakan kesakitan menjadi bahagia pada akhirnya. Setidaknya itu yang ku pahami, ku rasakan dan aku renungkan.

Kalimat-kalimat itu tak lebih dari bungkusan kekecewaan orang-orang yang gagal. Kata-kata itu hanya mengobati luka mereka yang sempat tersakiti, tapi sebenarnya luka itu tak pernah sembuh. Ya, tak akan pernah sembuh, sebab kegagalan yang mereka alami dan kesakitan yang harus mereka terima tidak semuda itu hilang hanya dengan kalimat-kalimat yang ku sebut “sampah” seperti itu.
Banyak hal sudah ku pahami, bahwa tidak semua senyum itu mewakili kebahagiaan. Tak pula semua tangis itu mewakili kesedihan. Tawa riang itu tak berarti keceriaan, begitu pun dengan raung tangis juga bukan berarti kepedihan. Kehidupan ini palsu, kita semua tengah memainkan peran kita sebagai actor yang dituntut sesuai dengan peran yang kita mainkan. Berpura-pura tertawa agar dianggap bahagia, berpura-pura tegar agar dikatakan bijak dan berpura-pura tangguh agar dibilang dewasa. Bukankah kehidupan yang seperti ini yang tengah kita jalani? Bukankah sangat membosankannya menghadapi kehidupan ini?

Lalu ketika hidup sudah sedemikian membosankannya, seperti yang dirasakan oleh orang-orang sepertiku, maka tak ada lagi yang harus diperjuangkan.  Hidup tinggal hanya sekedar tetap bernafas hingga waktu mengalahkan kita. Aku punya cara hidup yang berbeda dari orang kebanyakan yang penuh kepalsuan. Standar sikapku juga tak ingin ku samakan dengan mereka yang penuh kepalsuan. Nilai dan norma yang mereka gadang-gadangkan toh tak pula mereka junjung tinggi, dimataku itu semua hanya keterpaksaan mereka mentaatinya.
“ Ngapain?,” seseorang menepuk pundakku lembut.
“ Owh ini, hanya mengarang bebas,” jawabku sambil memperlihatkan rancangan novelku.
“ Busyet….sedih amat tulisanmu. Tulis yang lebih ceria dong. Hari gini masih nulis yang sedih-sedih, udah nggak laku kali” celotehnya.
“ Kehidupan itu lebih banyak diisi oleh kesedihan, kalaupun ada kebahagiaan biasanya hanya mainan akal pikiran kita saja. Tak ada orang yang benar-benar bahagia, semuanya palsu. Kreatifitas manusia saja,” sahutku.
“ Sudah tiga tahun, kamu sampai kapan begini terus memandang dunia? Kesedihanmu kemarin jangan sampai merampas kebahagiaanmu hari ini,” Nasehatnya.

Aku tak menanggapi nasehat Vina, sahabatku itu. Ku tinggalkan dia yang terus membaca novelku. Sudah berkali-kali kami membicarakan hal yang sama sepanjang tiga tahun ini. Apa yang tidak ku katakana padanya, dengan kalimat lembut hingga bentakan pun pernah ku sahuti pernyataannya yang serupa itu. Namun tetap saja Vina tak peduli, dia terus bicara hal seperti itu hingga aku pun sudah tidak merasakan apa-apa lagi waktu mendengar kalimat serupa itu yang ia lontarkan.

Tiga tahun lalu, tepat ketika Adit menghilang tanpa jejak dari hidupku. Tak ada kata putus, apalagi pamit. Dia pergi menyisakan tanda tanya besar tentang kebenaran perasaannya padaku waktu awal pacaran dulu. Entah ditelan bumi, atau menghilang di puncak gunung, sejak tiga tahun lalu sudah tak ada lagi kabar terdengar darinya. Aku masih menunggunya, bahkan hingga detik ini pun masih begitu. Bukan menunggu dengan rasa cinta yang masih menggebu-gebu melainkan menunggu penjelasannya karena menghilang tanpa kata.

Awalnya memang aku merasa sangat terpukul, namun kelamaan aku bisa menerima bahwa memang pertemuan itu selalu diakhiri dengan perpisahan. Bukankah cinta sekarang kamudian menjadi tidak cinta lagi sedetik kemudian adalah hal yang lumrah? Ku pikir memang begitu watak lelaki yang tak dapat dirubah. Lalu perlahan aku menyadari perubahan dalam diriku, aku membenci dunia ini. Aku memusuhi Tuhan yang tak kunjung berdamai denganku.

Inilah kegagalan terbesarku, kegagalan untuk menguasai perasaanku sendiri. Aku gagal untuk melupakan orang yang sudah menyakiti hatiku. Aku gagal membencinya, walau aku tahu bahwa aku berhak untuk membencinya. Sungguh, jika sekali saja aku bisa bertemu dengannya, aku akan teriakkan betapa aku membencinya. Jika saja bisa berhadapan dengannya beberapa detik, aku akan mencakarnya hingga ia tak bisa lagi mengagumi wajahnya yang tampan. Upss….bahkan tiga tahun berlalu, aku masih saja menganggapnya pria paling tampan. Benar-benar gagal move on.

Ketika ku ekspresikan kesakitanku, dunia menggubrisnya dengan sinis. Mereka yang sok bijak memberi nasehat seolah pernah berada di posisiku saat itu. Tak jarang pula yang terang-terangan mencibirku karena menganggapku kekanak-kanakan. Ah…berulangkali aku mendoakan mereka agar tak pernah merasakan perasaan yang ku alami ini. Aku yakin mereka tidak akan mau bertukar tempat denganku ketika tahu bagaimana hatiku saat ini.
“ Satu hal yang harus kamu lakukan, buka hatimu dan lupakan bahwa kegagalanmu itu sebagai salahmu,” kira-kira begitulah nasehat mereka.
Mungin baginya mudah mengganti hati seperti mengganti pakaian, tapi tidak denganku. Perasaan ini sudah terlanjur dalam, aku tak dapat menghentikannya. Bahkan kepahitan ini pun tetap saja tidak mampu membuatku membencinya dan berhenti menunggunya. Tiga tahun tidak cukup untuk menghapusnya dari hatiku. 

“ Pindahlah, di tempat yang baru engkau akan menemukan kebahagiaanmu,” ada pula yang menasehatiku seperti itu.
Nasehat yang satu itu ku rasa ada benarnya. Ku putuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamaku dan pindah ke kota yang baru dengan harapan aku bisa memulai kehidupan yang baru. Kalaulah tak bisa melupakan perasaan cinta, setidaknya aku berharap bisa menghilangkan sedikit demi sedikit kepahitan dari kegagalan itu.

Kini aku sudah mendapatkan pekerjaan baru, sebagai karyawan swasta disebuah perusahaan ternama. Aku mulai mencintai pekerjaanku. Ku baktikan diriku untuk pekerjaan itu. Lembur sudah terlalu akrab denganku. Bahkan aku suka mengerjakan pekerjaan mitra kerjaku jika dia berhalangan hadir. Aku menikmatinya. Menikmati waktu yang bergulir cepat ketika aku disibukkan oleh kerjaanku. Setidaknya perlahan-lahan Adit sudah mulai menghilang dari benakku hingga akhirnya benar-benar menghilang.

Cinta memang sudah tak ada lagi, tapi bukan berarti aku melupakan pelajaran berharga yang kudapat dari Adit. Apa yang kau kira sudah kau miliki, bukan berarti benar-benar kau miliki. Ketika yang kau rasa sudah kau miliki itu menghilang, maka harusnya kau siap akan kehilangan itu. Jika takut akan kehilangan, jangan berani mencintai. Ya…aku menutup hatiku dari siapapun. Toh kalau cinta itu tak berwujud, kenapa harus menghabiskan waktu untuk memikirkannya?

Setahun berlalu, sampai akhirnya aku merasakan ada kupu-kupu di perutku. Aku terjebak lagi, di lubang yang sama. Sepertinya aku sudah jatuh cinta, dengan teman satu perusahaan. Dia yang selalu ada untuk membantuku, diam-diam sudah menggoreskan kesan yang manis untukku. Pertemuan yang intens, karena memang kami mitra kerja mungkin bisa jadi alasan tumbuh benih-benih cinta itu. 

Aku berusaha menghilangkan perasaan itu, tapi usahaku nihil. Sulit menghapuskan sosoknya yang sudah terlanjur masuk ke hatiku. Aku terus menyalahkan pertahananku karena goyah oleh pesonanya. Ku hindari dia, tak lain hanya untuk menjaga hatiku agar tidak terlalu jauh mencintainya. Cara itupun mentah, aku tetap melihatnya sebagai seorang yang special di hatiku. Aku mulai membenci hatiku, aku membenci dirik. Sungguh benci…

Tak lama aku menemukan cara untuk menghilangkan perasaanku, yakni dengan mencari kekurangannya. Wajahnya tidak terlalu tampan, perutnya sedikit buncit, suka merayu banyak karyawati di kantor dan bacotnya itu seperti kompor meleduk. Aku mulai mengingat-ingat kekurangannya agar aku bisa membencinya, tapi tetap saja itu tak berhasil. Aku tak bisa membenci hal-hal buruk darinya. Perasaan itu terus menyiksaku, hingga akhirnya ku putuskan untuk pindah lagi dari kota ini. (*)
NB: Kalau nggak suka endingnya, bodo amat lah ya. Bikin cerita sendiri aja :p

4 komentar:

  1. Endingnya ga bagus,,, pergi gthu aja cm gara2 itu,,,,
    Trus apa bedanya dgn adit,,,?? Tu cowok kan suka godaian karyawan yg lain, jd gr sendiri dunk,,,, :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya...makanya itu kadang ada orang yang jatuh ke lubang yang sama 2x dan tidak belajar dari kesalahan yang pertama :)

      Hapus