Sabtu, 12 September 2015

Dita




Saat jatuh cinta, kita mengalami fase dimana keegoisan seringkali mengalahkan akal dan toleransi. Ketika mencintai, seringkali lupa bahwa tujuan utama dari cinta adalah membahagiakan orang yang kita cintai, bukan hanya membahagiakan diri sendiri. Ketika dicintai, seringkali kita alpa bahwa kita memiliki hutang untuk membalas membahagiakan orang yang sudah mencintai dan mempersembahkan kebahagiaan untuk kita. Kondisi yang demikian menjadi lumrah, sehingga pemaknaan akan cinta pun menjadi beragam tergantung pada bagaimana masing-masing orang menginterpretasikannya.

Membicarakan cinta sama seperti beberapa orang buta menginterpretasikan seekor gajah, bagi yang sempat meraba ekor, dia akan katakan gajah itu panjang dan ujungnya berbulu. Namun bagi yang meraba badannya, dia akan berkata gajah itu sangat besar dan tinggi, berbeda pula dengan si buta yang memegang belalai atau bagian lain dari gajah. Ya, tidak ada satu pun dari mereka yang buta itu salah mendeskripsikan gajah, begitupun dengan mereka yang menginterpretasikan cinta. Bagi mereka yang dibahagiakan oleh cinta, tentu menginterpretasikannya sebagai sebuah perasaan yang membahagiakan, namun bagi mereka yang gagal dalam cinta akan menginterpretasikan cinta sebagai sebuah kesakita luar biasa. 

Hampir semua orang piawai ketika bicara cinta secara teoritis, tapi sebagian besar mengalami kegagalan dalam cinta. Namun sudah seperti hal lumrah ketika orang lain terlihat sangat bijak saat menasehati persoalan cinta orang lain tapi tidak mengerti bagaimana mencari jalan keluar untuk persoalan cinta yang dia alami sendiri. Persis seperti yang dialami Dita saat ini. Gadis itu merasa bingung dengan keputusan yang akan diambilnya. 

Kemarin malam, tepat setelah shalat Isya Dita ditelpon oleh orangtuanya. Gadis itu diminta untuk segera pulang ke kampung guna membicarakan lamaran atas dirinya yang datang dari salah satu keluarga sahabat Ayahnya. Dia kaget, karena memang sebelumnya tidak ada pembicaraan ke arah pernikahan. Terlebih lagi tidak pernah terlintas dipikirannya untuk menjalani proses perjodohan sebelum menikah. Gadis itu tak dapat berkata apa-apa sampai akhirnya ayahnya mengeluarkan sebuah pertanyaan yang tak pernah ia sangka-sangka.

“ Kami sudah mengenal pemuda itu begitupun dengan keluarganya. Mereka baik dan terpandang, ku pikir kau pasti setuju dengan rencana inikan?,” Tanya Ayah.
“ Kau tak perlu jawab sekarang, pikirkanlah beberapa hari ini. Jika sudah ada keputusanmu, hubungi kami kembali,sayang,” serobot ibunya.

Dita cukup beruntung malam itu, dia tak perlu menjawab pertanyaan Ayah yang sebenarnya lebih mirip dengan pernyataan dari pada pertanyaan. Dia menutup pembicaraan dengan suara yang masih tergagap-gagap. Rasa tak percaya membuat Dita mengernyitkan dahinya beberapa menit sampai akhirnya menetes airmata di pipinya. Tatapannya datar, dia tak terisak hanya saja air mata terus mengalir. Dibaringkannya tubuhnya diatas ranjang sambil masih menggenggam ponselnya hingga akhirnya dia tertidur tanpa menyeka air matanya.

Pagi menjelang, sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela kamar. Cuaca pagi itu sangat indah, tapi tak demikian dengan hati Dita. Dia terbangun dengan matanya yang sembab dan suasana hati yang buruk. Dia menghela nafas panjang sebelum mulai beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya terseret-seret, tampak berat sekali hendak melangkah ke kamar mandi. Begitupun setelah selesai mandi, masih tergurat kesedihan di wajahnya.
“ Pagi cantik. Anak gadis kok pagi-pagi sudah melamun,” sapa ibu kos.
“ Ah tidak,bu. Hanya sedikit mengantuk,” kilah Dita.
“ Semalam ibumu menelpon, tapi kamu sedang Isya di masjid,” jelasnya.
“ Sudah,bu. Kami sudah bicara semalam,” jawab Dita.
“ Ada hubungannya dengan wajahmu yang ditekuk ini?,” si ibu kos mulai kepo.
“ Sedikit,” jawab Dita.
“ Tentang perjodohan?,” ibu kos berlagak seperti peramal.

Dita tersedak karena kaget karena ibu kos mengetahui isi pembicaraan dia dan orangtuanya. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa ibu kos menguping pembicaraanya semalam, namun cepat-cepat ibu kos menjelaskannya.
“ Ibu tidak menguping, hanya menebak dan ternyata benar,”
“ bagaimana ibu bisa menebak dengan benar?,” tanyaku penasaran.
“ mudah saja, kamu sudah diusia yang pantas untuk menikah, karirmu sudah cukup mapan, sementara kamu adalah anak perempuan paling besar dan kamu berasal dari keluarga Minangkabau yang sudah akrab dengan system perjodohan. Ketebak sudah,” sahut ibu Kos.

Ya, tak ada satupun yang salah dari analisa ibu kos. Dita memang anak sulung dari keluarga Minangkabau yang terkenal dengan perjodohannya. Ada banyak gadis Minang yang menikah karena dijodohkan, sampai sekarang pun masih berlaku hal itu terutama dalam keluarga Dita. Lebaran bulan lalu Mamak atau Paman, adik dari ibu Dita sudah menanyainya tentang calon pasangan. Ujung-ujungnya membicarakan pernikahan. Namun dengan santai Dita katakan bahwa ia masih ingin melanjutkan kuliah dan belum ingin menikah dalam waktu dekat. 

Dita tak menyangka buah dari jawabannya itu harus ia tuai seperti ini. Dita harus menjalani proses perjodohan yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya. Dia berpikir bahwa zaman sudah modern, sistem begini harusnya tidak ada lagi. Dita berpikir bahwa keluarganya memang masih kolot.
“ Kamu di jodohkan? Wah pangeran tampan mana yang kurang beruntung itu?,” Ratih muncul dari kamarnya.
“ Kamu ini nguping aja,” sahut Dita.
“ Ku pikir ada baiknya disetujui saja, ketimbang kamu berharap Andra terus-terusan. Selamat yaaaa,” timpal Gadis, yang baru saja lewat dari ruang makan.

Dita hanya menjawab dengan cengiran khasnya. Pikirnya akan melelahkan untuk menanggapi candaan sahabat-sahabatnya itu, terlebih saat ini dia tidak punya selera humor yang cukup baik. Dita mengemasi buku-bukunya kemudian berjalan menuju scooter kesayangannya dengan bergegas. Setibanya di kantor dia bertemu Andra di lobbi. Pria itu menghampirinya dengan tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Dita menyambut uluran tangan itu dengan tanda Tanya besar dibenaknya. Sampai akhirnya dia tahu setelah Andra melanjutkan pembicaraannya.
“ Aku sudah dengar tentang perjodohanmu, aku turut senang. Selamat ya. Nanti jangan lupa undangannya,”
“ oh anu…tentang itu sebenarnya aku belum memutuskannya,” jawab Dita.
“ Kenapa belum? Bukankah dia pria yang baik?, apa dia tidak tampan?,” seloroh Andra.
“ Bukan, dia cukup tampan dan memang pria yang baik tapi….,”
“ Tapi apa?,” Tanya Andra.
“ Menurutmu haruskah aku menerimanya?,” Dita malah balik bertanya.
“ aaa…anu…hmm…tentu kalau memang kau suka,” jawab Andra.
Dita merasa kecewa dengan jawaban Andra. Dia terluka karena Andra justru merestui perjodohan itu. Dita sudah setahun ini menyukai Andra dan berharap lebih pada pria itu. Namun dia hanya bisa mencintai Andra secara sembunyi-sembunyi karena memang pria itu tak pernah menyatakan perasaannya pada Dita. Pikir Dita, Andra hanya menganggapnya sebagai kawan.

Meski sangat mencintai Andra, namun Dita tak mau terlihat agresif mendekati pria itu. Sebagai gadis Minangkabau, dia memegang falsafah yang menganggap bahwa tidak sepantasnya wanita mengejar pria. Tak elok jika Anau (Pohon Enau) yang mengejar Sigai (tangga yang digunakan untuk memanjat pohon enau oleh petani).

Di Minangkabau, perempuan diibaratkan sebagai Pohon Enau, dimana-mana Pohon itu pasif tidak boleh bergerak. Sementara sigai lah yang harus aktif berpindah mencari enau dari satu pohon ke pohon lain. Jika pohon enau yang mengejar sigai, tentu itu bukan peristiwa yang lumrah. Begitulah wanita dalam pandangan sebagian masyarakat Minangkabau, terutama dalam keluarga Dita. Karena ajaran itulah, Dita tak pernah berani untuk mendekati Andra. Dia hanya mencintainya dalam diam dan berharap suatu saat Andra yang akan menyatakan perasaanya. Sulit bagi Dita untuk mengekspresikan perasaanya pada Andra. Mereka sudah terlalu dekat, layaknya sahabat karib. Disaat Dita membutuhkan bantuan, Andra yang selalu datang menolong dan begitupun sebaliknya. Kedekatan itulah yang menimbulkan benih-benih cinta Dita. Sayangnya, pernyataan cinta yang ditunggu Dita tak kunjung tiba.
“ Kalau begitu akan ku pikirkan, mungkin memang harus ku jemput jodohku dengan cara begini,” jawab Dita.

Kemudian Dita meninggalkan Andra yang masih memandanginya hingga bayangan Dita benar-benar sudah tak tampak lagi. Ada guratan kesedihan di mata Andra saat mendengar jawaban Dita. Namun dia mencoba menepisnya. Dia pun mengikuti Dita hingga ke meja kerjanya. Menggoda gadis itu dengan lelucon bodoh tentang perjodohan Dita yang akhirnya membuat gadis itu tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya. Dia membanting meja, kemudian keluar dari ruangannya. Andra hanya nyengir kuda melihat kepergian Dita. 

Beberapa menit kemudian Dita kembali ke mejanya. Sambil memandangi laptopnya, Dita mendengarkan pembicaraan Andra dengan Wenda, teman sekantor mereka. Wenda menanyakan tentang kabar perjodohan Dita yang diketahui Andra dari Gadis. Dita menguping sambil bergumam dalam hatinya. “ Awas kau,Gadis. Pulang nanti ku buat perhitungan,” 

Andra tak tahu kalau Dita sudah kembali duduk di mejanya. Dia terus bercerita tentang kabar yang dia dengar dari Gadis. Dengan ekspresi konyol dia berseloroh tentang perjodohan itu yang membuat emosi Dita semakin terpacu. Namun cepat-cepat Dita menguasai dirinya, tak ingin menangis di ruangan yang penuh dengan rekan kerjanya itu.
“ Ku pikir kau orang yang akan sangat kecewa mendengar kabar perjodohan Dita,” seloroh Wenda.
“ Gila, kenapa aku harus sedih. Justru aku sangat senang karena dia bisa cepat menikah. Sudah waktunya juga kan,” jawab Andra.
Dita tak kuasa membendung air matanya. Dia sangat terluka mendengar jawaban Andra. Harapannya pupus seketika itu juga. Pikirnya tak mungkin Andra mencintainya jika toh sudah seperti itu kalimat yang dia dengar dari mulut Andra. Jelas sudah, penantiannya harus diakhiri sampai disini. Tak ada alasan lagi untuk tetap menunggu Andra.
Dita menelpon ibunya, menjelaskan bahwa dia bersedia menerima perjodohan itu dan meminta ibunya mengatur rencana lamaran. Tanpa Dita sadari, Andra mendengar pembicaraan mereka. Lelaki itu tertunduk lesu di mejanya, matanya berkaca-kaca. Hatinya juga remuk mendapati kenyataan itu. Dia terluka, tak kalah perih dengan luka yang dirasakan Dita saat ini.

Baik Dita dan juga Andra sama-sama menyukai, namun mereka tak mengetahui perasaan satu sama lain. Dita berpikir bahwa Andra tidak mencintainya, begitupun sebaliknya dengan Andra. Mereka saling mendoakan kebaikan bagi orang yang mereka cintai, meskipun tidak ada balasan atas perasaan mereka. (bersambung)

 *Tungguin ya :)











Kamis, 03 September 2015

Cerpen: AKU


 
Konon kegagalan membuat kita belajar tentang banyak hal, terutama menghargai perjuangan. Kegagalan katanya membuat kita menjadi pribadi yang semakin hebat ketika berhasil memetik hikmah dari kegagalan itu. Kesakitan yang disebabkan oleh kegagalan katanya tak kan lagi dapat kita ingat ketika bahagia membasuh lara. Namun, tidak semua orang gagal dapat menjadi hebat. Tidak pula semua orang yang merasakan kesakitan menjadi bahagia pada akhirnya. Setidaknya itu yang ku pahami, ku rasakan dan aku renungkan.

Kalimat-kalimat itu tak lebih dari bungkusan kekecewaan orang-orang yang gagal. Kata-kata itu hanya mengobati luka mereka yang sempat tersakiti, tapi sebenarnya luka itu tak pernah sembuh. Ya, tak akan pernah sembuh, sebab kegagalan yang mereka alami dan kesakitan yang harus mereka terima tidak semuda itu hilang hanya dengan kalimat-kalimat yang ku sebut “sampah” seperti itu.
Banyak hal sudah ku pahami, bahwa tidak semua senyum itu mewakili kebahagiaan. Tak pula semua tangis itu mewakili kesedihan. Tawa riang itu tak berarti keceriaan, begitu pun dengan raung tangis juga bukan berarti kepedihan. Kehidupan ini palsu, kita semua tengah memainkan peran kita sebagai actor yang dituntut sesuai dengan peran yang kita mainkan. Berpura-pura tertawa agar dianggap bahagia, berpura-pura tegar agar dikatakan bijak dan berpura-pura tangguh agar dibilang dewasa. Bukankah kehidupan yang seperti ini yang tengah kita jalani? Bukankah sangat membosankannya menghadapi kehidupan ini?

Lalu ketika hidup sudah sedemikian membosankannya, seperti yang dirasakan oleh orang-orang sepertiku, maka tak ada lagi yang harus diperjuangkan.  Hidup tinggal hanya sekedar tetap bernafas hingga waktu mengalahkan kita. Aku punya cara hidup yang berbeda dari orang kebanyakan yang penuh kepalsuan. Standar sikapku juga tak ingin ku samakan dengan mereka yang penuh kepalsuan. Nilai dan norma yang mereka gadang-gadangkan toh tak pula mereka junjung tinggi, dimataku itu semua hanya keterpaksaan mereka mentaatinya.
“ Ngapain?,” seseorang menepuk pundakku lembut.
“ Owh ini, hanya mengarang bebas,” jawabku sambil memperlihatkan rancangan novelku.
“ Busyet….sedih amat tulisanmu. Tulis yang lebih ceria dong. Hari gini masih nulis yang sedih-sedih, udah nggak laku kali” celotehnya.
“ Kehidupan itu lebih banyak diisi oleh kesedihan, kalaupun ada kebahagiaan biasanya hanya mainan akal pikiran kita saja. Tak ada orang yang benar-benar bahagia, semuanya palsu. Kreatifitas manusia saja,” sahutku.
“ Sudah tiga tahun, kamu sampai kapan begini terus memandang dunia? Kesedihanmu kemarin jangan sampai merampas kebahagiaanmu hari ini,” Nasehatnya.

Aku tak menanggapi nasehat Vina, sahabatku itu. Ku tinggalkan dia yang terus membaca novelku. Sudah berkali-kali kami membicarakan hal yang sama sepanjang tiga tahun ini. Apa yang tidak ku katakana padanya, dengan kalimat lembut hingga bentakan pun pernah ku sahuti pernyataannya yang serupa itu. Namun tetap saja Vina tak peduli, dia terus bicara hal seperti itu hingga aku pun sudah tidak merasakan apa-apa lagi waktu mendengar kalimat serupa itu yang ia lontarkan.

Tiga tahun lalu, tepat ketika Adit menghilang tanpa jejak dari hidupku. Tak ada kata putus, apalagi pamit. Dia pergi menyisakan tanda tanya besar tentang kebenaran perasaannya padaku waktu awal pacaran dulu. Entah ditelan bumi, atau menghilang di puncak gunung, sejak tiga tahun lalu sudah tak ada lagi kabar terdengar darinya. Aku masih menunggunya, bahkan hingga detik ini pun masih begitu. Bukan menunggu dengan rasa cinta yang masih menggebu-gebu melainkan menunggu penjelasannya karena menghilang tanpa kata.

Awalnya memang aku merasa sangat terpukul, namun kelamaan aku bisa menerima bahwa memang pertemuan itu selalu diakhiri dengan perpisahan. Bukankah cinta sekarang kamudian menjadi tidak cinta lagi sedetik kemudian adalah hal yang lumrah? Ku pikir memang begitu watak lelaki yang tak dapat dirubah. Lalu perlahan aku menyadari perubahan dalam diriku, aku membenci dunia ini. Aku memusuhi Tuhan yang tak kunjung berdamai denganku.

Inilah kegagalan terbesarku, kegagalan untuk menguasai perasaanku sendiri. Aku gagal untuk melupakan orang yang sudah menyakiti hatiku. Aku gagal membencinya, walau aku tahu bahwa aku berhak untuk membencinya. Sungguh, jika sekali saja aku bisa bertemu dengannya, aku akan teriakkan betapa aku membencinya. Jika saja bisa berhadapan dengannya beberapa detik, aku akan mencakarnya hingga ia tak bisa lagi mengagumi wajahnya yang tampan. Upss….bahkan tiga tahun berlalu, aku masih saja menganggapnya pria paling tampan. Benar-benar gagal move on.

Ketika ku ekspresikan kesakitanku, dunia menggubrisnya dengan sinis. Mereka yang sok bijak memberi nasehat seolah pernah berada di posisiku saat itu. Tak jarang pula yang terang-terangan mencibirku karena menganggapku kekanak-kanakan. Ah…berulangkali aku mendoakan mereka agar tak pernah merasakan perasaan yang ku alami ini. Aku yakin mereka tidak akan mau bertukar tempat denganku ketika tahu bagaimana hatiku saat ini.
“ Satu hal yang harus kamu lakukan, buka hatimu dan lupakan bahwa kegagalanmu itu sebagai salahmu,” kira-kira begitulah nasehat mereka.
Mungin baginya mudah mengganti hati seperti mengganti pakaian, tapi tidak denganku. Perasaan ini sudah terlanjur dalam, aku tak dapat menghentikannya. Bahkan kepahitan ini pun tetap saja tidak mampu membuatku membencinya dan berhenti menunggunya. Tiga tahun tidak cukup untuk menghapusnya dari hatiku. 

“ Pindahlah, di tempat yang baru engkau akan menemukan kebahagiaanmu,” ada pula yang menasehatiku seperti itu.
Nasehat yang satu itu ku rasa ada benarnya. Ku putuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamaku dan pindah ke kota yang baru dengan harapan aku bisa memulai kehidupan yang baru. Kalaulah tak bisa melupakan perasaan cinta, setidaknya aku berharap bisa menghilangkan sedikit demi sedikit kepahitan dari kegagalan itu.

Kini aku sudah mendapatkan pekerjaan baru, sebagai karyawan swasta disebuah perusahaan ternama. Aku mulai mencintai pekerjaanku. Ku baktikan diriku untuk pekerjaan itu. Lembur sudah terlalu akrab denganku. Bahkan aku suka mengerjakan pekerjaan mitra kerjaku jika dia berhalangan hadir. Aku menikmatinya. Menikmati waktu yang bergulir cepat ketika aku disibukkan oleh kerjaanku. Setidaknya perlahan-lahan Adit sudah mulai menghilang dari benakku hingga akhirnya benar-benar menghilang.

Cinta memang sudah tak ada lagi, tapi bukan berarti aku melupakan pelajaran berharga yang kudapat dari Adit. Apa yang kau kira sudah kau miliki, bukan berarti benar-benar kau miliki. Ketika yang kau rasa sudah kau miliki itu menghilang, maka harusnya kau siap akan kehilangan itu. Jika takut akan kehilangan, jangan berani mencintai. Ya…aku menutup hatiku dari siapapun. Toh kalau cinta itu tak berwujud, kenapa harus menghabiskan waktu untuk memikirkannya?

Setahun berlalu, sampai akhirnya aku merasakan ada kupu-kupu di perutku. Aku terjebak lagi, di lubang yang sama. Sepertinya aku sudah jatuh cinta, dengan teman satu perusahaan. Dia yang selalu ada untuk membantuku, diam-diam sudah menggoreskan kesan yang manis untukku. Pertemuan yang intens, karena memang kami mitra kerja mungkin bisa jadi alasan tumbuh benih-benih cinta itu. 

Aku berusaha menghilangkan perasaan itu, tapi usahaku nihil. Sulit menghapuskan sosoknya yang sudah terlanjur masuk ke hatiku. Aku terus menyalahkan pertahananku karena goyah oleh pesonanya. Ku hindari dia, tak lain hanya untuk menjaga hatiku agar tidak terlalu jauh mencintainya. Cara itupun mentah, aku tetap melihatnya sebagai seorang yang special di hatiku. Aku mulai membenci hatiku, aku membenci dirik. Sungguh benci…

Tak lama aku menemukan cara untuk menghilangkan perasaanku, yakni dengan mencari kekurangannya. Wajahnya tidak terlalu tampan, perutnya sedikit buncit, suka merayu banyak karyawati di kantor dan bacotnya itu seperti kompor meleduk. Aku mulai mengingat-ingat kekurangannya agar aku bisa membencinya, tapi tetap saja itu tak berhasil. Aku tak bisa membenci hal-hal buruk darinya. Perasaan itu terus menyiksaku, hingga akhirnya ku putuskan untuk pindah lagi dari kota ini. (*)
NB: Kalau nggak suka endingnya, bodo amat lah ya. Bikin cerita sendiri aja :p