Selasa, 26 Oktober 2010

TPM dan Faskel Lempar Bola


By: Marisa Elsera

Tim Pendamping Masyrakat (TPM) dan fasilitator kelurahan (faskel) saling lempar bola soal dana gempa 2009 di kelurahan kuraopagang, kecamatan Nanggalo. Tuntutan warga yang tidak mendapatkan dana gempa tahap I yang dialamatkan pada kelurahan kini dilemparkan pada  faskel, sedangkan faskel kembali melempar bola pada TPM.

Akibatnya, warga kelurahan kurao pagang merasa dibodohi oleh situasi yang kembali menghangat. Warga menuntut transparansi TPM dan faskel dalam menentukan kategori penerima dana bantuan gempa tahap I yang akan cair. Warga merasa dianak tirikan karena menurut mereka penerima dana gempa tahap I hanya konco TPM dan perangkat RT dan RW dikelurahan tersebut.

“Kami merasa dianak-tirikan. Kenapa hanya konco terdekat RT, RW dan Kelurahan saja yang mendapatkan tahap I. sedangkan banyak yang rumahnya tidak layak huni tidak diperioritaskan,”tutur Eda, warga RT 8 RW 2.

Jum, warga RT 2 RW 2 juga menjelaskan bahwa masyarakat telah dikibuli oleh TPM. TPM hanya memperioritaskan masyarakat yang menjadi koloninya. Terbukti dengan tidak diberikannya dana bantuan gempa tahap satu pada warga yang mengalami rusak berat dan rusak menengah yang justru lebih membutuhkan.

“Kami hanya meminta keadilan. Jangan karena ingin mendapatkan dana gempa, warga yang lebih membutuhkan terpinggirkan. Tidak layak pemimpin berbuat demikian. Dan lagi, tidak pantas ketua RW 2 itu menandatangani persetujuan gempa karena masa jabatannya telah berakhir 1 tahun lalu,”tuturnya.

Sementara itu, Frida Yulis, warga RT 2 RW 2 mengaku rumahnya yang ditimpa reruntuhan rumah tetangga juga tidak mendapatkan bantuan tahap I sedangkan warga lainnya yang mengalami kerusakan lebih ringan malah mendapatkan perioritas pertama. Jika memang dana gempa itu hanya tiba separuhnya, maka sebaiknya warga yang benar-benar membutuhkan lebih didahulukan.

Nasib serupa juga diungkapkan Jaswin, warga RT 8 RW 2 yang mengaku tiga ruangan di rumahnya rubuh sehingga jika hujan turun rumahnya akan kebanjiran karena atap rumah ikut runtuh. Jaswin pun menyesalkan peruntukan dana bantuan gempa yang berdasarkan kedekatan darah dan kedekatan emosional sehingga warga yang benar-benar membutuhkan bantuan dana termarginalkan.

“Alah susah ambo lalok kini, kamari payah. Rumah lah rubuah, tapi disuruah manunggu juo. Yang rumahnyo indak baa-baa, kok dapek duluan?,”tuturnya.

Ketika dikonfirmasi pada  lurah Kurao Pagang, Ermon mengaku penetapan kategori tersebut dipercayakan pada faskel dan tanpa ada campurtangan TPM. Jikalau ada masyarakat yang merasa keberatan dengan penilaian yang dilakukan faskel, bisa laporkan ke PJOK agar diverifikasi kembali dana yang akan turun tersebut.

Di kelurahannya, ada sekitar 1200 rumah yang rusak akibat gempa,yakni sekitar 400 rusak berat dan 600 rusak menengah dan sisanya rusak ringan. Namun untuk keluraha Kurao Pagang hanya dijatahkan 502 rumah yang mendapatkan bantuan gempa dengan rincian250 rumah rusak berat dan 252 rumah rusak menengah. Akan tetapi, karena jumlah rumah yang rusak menengah dan berat melebihi kuota, terpaksa dibagi kedalam penerima dana gempa tahap satu dan tahap dua.

“Kami pihak kelurahan tidak ikut campur apalagi mengintervensi faskel. Mengenai kategori penerima tahap pertama, itu urusan faskel. Mereka sejak awal mencari data penerima gempa kemudian mengkategorikan warga yang berhak mendapatkan di tahap pertama berdasarkan kategori yang telah ditetapkan oleh mereka,”tutur Ermon, saat ditemui di kantor camat Nanggalo lama, Rabu (13/10).

Namun, saat ditemui oleh Padang Ekspres di kantor PJOK, di jalan Bundo Kanduang, faskel Kurao Pagang, Doni membantah penentuan kategori penerima bantuan gempa tahap satu ditetapkan oleh Faskel. Doni menuding TPM telah mengintervensi faskel dalam bekerja sehingga untuk menetapkan 502 penerima dari 1200 rumah rusak diserahkan sepenuhnya pada RT/RW dan diketahui oleh kelurahan.

“Kami diintervensi, sehingga kami sulit untuk bersikap bijak, karena pihak kelurahan lebih memahami warga mana yang pantas diberikan bantuan, kami serahkan para mereka,”tutur Doni.

Diuraikannya, setelah menjadi faskel di Kurao Padang, tidak hanya intervensi dariRT dan RW yang ia terima, tapi juga ancaman dan terror akan dibunuh dan dikejar dengan parang. Hal itu, disebabkan oleh rawannya posisi faskel di kelurahan tersebut. Tidak hanya kelurahan yang mengintervensi, tapi masyarakat juga mengadilinya karena tupoksinya terhadap penerima bantuan gempa.

Sementara itu, Penanggungjawab Operasional Kota (PJOK) Padang, Asnul menghimbau kepada warga yang tidak puas dengan hasil penilaian faskel dan kinerja TPM untuk melapor pada PJOK agar ditindak lanjuti. Pada prinsipnya, dana bantuan gempa itu memang tidak bisa diberikan sekaligus pada masyarakat terkait ketersediaan dana gempa yang minim. Namun, ditahap dua nanti semua warga yang mengalami kerusakan rumah akan diberikan dana gempa.

“Jangan cemas, ada dana gempa tahap dua. Tapi kami minta untuk bersabar. Jika ada penyelewengan, silahkan lapor pada kami,”tuturnya.(m)

Korban Gempa Padang


Ajai Pratama Muhammad, Korban Gempa 2009
"Ingin Jadi Atlet Lari"

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah yang dialami Ajai Pratama Muhammad yang terlahir tanpa langit-langit dan diabetes yang kemudian juga harus mengalami amputasi pada lengan kanannya setelah gempa 2009 lalu. Tapi cobaan itu ia telan dengan keikhlasan hingga tak ada sesal tuk hadapi hidup ini. Ia terus mengejar citanya menjadi seorang atlet nasional. Bagaimana perjuangannya hidupnya?

Laporan—Marisa Elsera

Kita memang kadang perlu belajar dari seorang bocah. Jika kita ingat kembali, semangat sebagai anak-anak sangat kuat untuk menerjang semua halangan dan tantangan. Satu contoh nyata adalah saat kita belajar berjalan. Meski jatuh berkali-kali, sebagai seorang bocah kita tentunya terus berusaha hingga benar-benar bisa berjalan seperti saat ini.

Seperti yang tengah dihadapi oleh Ajai Pratama Muhammad, bocah berusia 9 tahun  yang memiliki semangat yang tak pernah padam persis bara api yang terus menyala. Ujian yang menimpa Ajai memang sangat berat. Betapa tidak, Sejak dilahirkan, Ajai sudah terlahir tanpa langit-langit yang menyebabkannya harus dioperasi.
Operasi itu secara tidak langsung  menyebabkan bibir Ajai sumbing.

Kondisi itu diperparah lagi ketika gempa menggoncang Sumbar 30 Setember 2009 lalu menyebabkan Ajai kehilangan tangan kanannya. Kini, bocah malang itu harus menderita dua cacat sekaligus. Sedih pasti, tapi anak pertama dari pasangan Fitriyeni dan Erizal itu tak ingin larut. Usia manusia tiada yang tahu, selagi nafasnya masih berhembus ia akan bersemangat.

Makin ditimpa musibah, makin membara semangatnya untuk maju. Mimpinya tuk menjadi atlet cabang olahraga renang atau cabang atletik tak ia kubur begitu saja. Meski dengan sebelah tangannya, ia yakin bisa tetap menjadi atlet berkebutuhan khusus. Karena itu, hampir setiap hari dia latihan fisik di pantai belakang rumah neneknya, di Ketaping. Kuatnya keinginannya untuk menjadi atlet patut diteladani.

Kendati tumbuh dengan keterbatasan, Ajai membuktikan bahwa dunia belumlah berakhir bagi dirinya. Ia tumbuh menjadi bocah yang periang dan murah senyum seolah-olah tak terjadi suatu apa pun dalam dirinya. Tanpa menggunakan tangan palsunya, Ajai bisa bergaul dengan teman sekolahnya dan masyarakat sekitarnya tanpa sungkan ataupun minder.

“Aku ingin jadi perenang, meskipun hanya diturnamen khusus anak berkebutuhan khusus. Yang penting aku bisa melanjutkan hobiku,”tutur Ajai yang saat ditemui Padang Ekspres tengah berkumpul dengan teman sepermainannya.

Saudara laki-laki dari Azizah dan Arul Nursani itu mengaku tidak putus asa dengan kekurangan di tubuhnya meski ia belum tahu bagaimana masa depannya kelak serta bagaimana ia bisa mengubah hidupnya dengan kondisinya saat itu. Hingga suatu ketika ia menonton sebuah pertandingan olahraga nasional yang menumbuhkan cita-citanya untuk menjadi atlet berkebutuhan khusus.

 

Bagai gayung bersambut, ayah Ajai, Erizal memiliki teman yang mempunyai akses ke Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) Sumbar. Jika nantinya saat diseleksi Ajai cukup berbakat untuk ditimpa sebagai atlet, maka tidak menutup kemungkinan kesempatan menjadi atlet berkebutuhan khusus bisa dicapai bocah yang tak menyukai ikan itu.

 

“Semoga saja Ajai bisa mewujudkan cita-citanya. Anak ini memang ajaib. Meski beberapa kali sekarat, tapi masih bisa bertahan hidup. Mentalnya pun kuat, tak pernah ia menangisi kondisinya yang seperti ini,”tutur Erizal, ayah Ajai saat ditemui di rumahnya, di Padang Sarai Kecamatan Koto Tangah.


Diuraikan Erizal, sebenarnya Ajai ingin menjadi atlet seutuhnya tanpa menyandang status cacat. Namun, gempa 2009 lalu, telah menggugurkan cita-citanya menjadi atlet normal. Ketika itu, Ajay tengah bermain di rumah neneknya di Ketaping. Tiba-tiba gempa kencang menggoncang. Ajay kemudian berlari ke luar rumah. Namun naas, ia tersandung reruntuhan bangunan rumah hingga tangan kanannya terkilir.

 Begitu gempa usai, tangan Ajai yang sakit segera diurut. Usai berurut, Ajai tidak merasakan sakit lagi di tangan kirinya. Ajai maupun orangtuanya tak ada yang berfikir bahwa efek dari jatuhnya Ajai akan cukup besar. Tapi naas, seminggu kemudian tangan Ajai yang sempat cidera kembali sakit. Kali ini lebih parah dibandingkan seminggu sebelumnya. Tangan hingga dada kanan ajai membiru, nafasnya pun tersengal-sengal.

“Sorenya saya bawa Ajai ke rumah sakit tentara di Gantiang. Di sana Ajay diperiksa dan di rawat intensif. Malamnya, dokter meminta kami untuk memberikan izin mengamputasi tangan Ajai. Terpaksa kami mengizinkan diamputasi agar Ajai bisa diselamatkan,”tuturnya sambil mencium adiknya, Azizah.
Kisah hidup dan tekad kuat anak seorang nelayan ini patut dijadikan inspirasi banyak orang agar mampu mendobrak segala keterbatasan. Bahkan jika kelak ia bisa menjadi atlet berkebutuhan khusus, Ajai berharap bisa menjadi juara dunia renang pada kejuaraan olimpiade tersebut.

Dia bekerja keras untuk mewujudkan impiannya tersebut. Jika melihat kesungguhan dan tekadnya, sepertinya impian itu tak mustahil untuk dicapai. Sebab, sejatinya kesungguhan dan tekad kuat yang dilandasi kerja keras akan mampu menaklukkan segala tantangan.


Korban Gempa Padang


Suci Refika Wulan Sari, Korban Gempa
Tertimbun 48 Jam, Selamat Berkat Mukjizat

Setelah terkurung selama 48 jam di reruntuhan gedung kuliah STBA Prayoga, September 2009 lalu, Suci Refika Wulan Sari, 26 berhasil diselamatkan. Dia menjadi salah satu dari dua orang yang selamat dari goncangan gempa yang menewaskan puluhan mahasiswa dan tim pengajar. Menjadi ibu rumah tangga dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kerinci ia jalani dengan suka cita meskipun harus kehilangan sebelah kakinya.

Laporan—Marisa Elsera

Meski harus menjalani sisa umurnya tanpa kedua kakinya, Suci tetap bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya. Kecintaan dan pengabdiannya pada keluarga kecilnya itu ia buktikan dengan memberikan perhatian dan ketulusan pada orang-orang yang ia cintai.

Bukan tak menghargai profesi sebagai ibu rumah tangga, hanya saja ia masih sering berkeinginan untuk tetap mengajar. maklum saja, sejak kecil ibunda dari Muhammad Fakih Afgani itu sudah bercita-cita menjadi pengajar. Namun, sejak gempa yang melanda Sumbar itu, Suci tak pernah mengajar kembali,

“Kangen mengajar lagi. Masih ada ga ya yang mau terima? Rasanya hidup lagi kalau kembali ke dunia pendidikan. Oh god, help me please,” tutur Suci yang kini memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya, di kerinci bersama suami dan anaknya.

Bagi wanita berlesung pipit itu, mengajar dan mengurus keluarga merupakan jiwanya. Kehilangan kesempatan mengajar sempat membuatnya patah arang, namun untunglah ia dikuatkan oleh keluarga yang tiada henti memberikan dukungan padanya. Hingga kini, ia masih berharap agar suatu saat, akan ada lembaga atau sekolah yang bersedia menerimanya sebagai salah satu tim pengajar sehinga ia bisa membagi ilmu bahasa inggris yang ia kuasai kepada muridnya.

Semenjak kecil ia sudah menyenangi dengan dunia mengajar. Suci kecil sering melakonkan peran sebagai guru ketika bermain bersama teman-temannya. Bakatnya mengajar tumbuh sejak kecil menjadi alasan Suci untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Negeri Padang (UNP). Di matanya, menjadi guru atau dosen memegang tugas dan tanggung jawab mulia. Tapi sayang, sejak gempa itu, Suci tak pernah lagi mengajar atau pun ditawari mengajar di yayasan, sekolah ataupun perguruan tinggi.

Suci jadi teringat kala sore itu, gedung kuliah STBA Prayoga tengah dipadati oleh mahasiswa yang wara-wiri dan menjalani perkuliah tiba-tiba digoncang gempa. Suci yang kala itu tengah mengajar di labor bahasa lantai 3, segera keluar dari ruang kelas dan bergandengan dengan murid-muridnya menuju lantai satu. 

Namun, baru tiba di tangga lantai dua, bangunan di lantai tiga ambruk dan menimpa lantai dua dan lantai satu. Suci, Ridho, Rully dan Sari terjepit diantara reruntuhan itu. Serta merta suasana menjadi gelap dan pengap. Saat itu, Suci bisa merasakan suasana sunyi, sepi, gelap, panas, pengap,bau, dan sakit yang luar biasa ia rasakan.

Saat tertimbun, Suci berada dengan posisi kaki diatas kepala dibawah. Kaki ibu satu anak itu terhimpit oleh puing-puing beton dan mayat mahasiswanya yg telah meninngal dunia. Kakinya yang luka sobek bercampur dengan darah dan nanah dari mayat-mayat korban gempa lainnya yang menghimpit kakinya.

“Pada awal tertimbun beton, ada 4 orang yg masih hidup, yakni Suci, sari, rully dan ridho. Namun ridho hanya mampu  bertahan hidup 15 menit. Hanya nafasnya yg terdengar  sesak. Tak lama kemudian nafasnya pun tidak terdengar lagi.,”tuturnya.

Setelah kematian Ridho, di dalam reruntuhan itu hanya tinggal Suci, Sari dan Rulli yg masih hidup.  Namun karena terlalu lama menunggu tim evakuasi, Rully harus dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah satu malam bertahan dibawah reruntuhan. Tak banyak yang bisa Suci lakukan selama tertimbun dalam reruntuhan. Hanya doa dan terus berteriak meminta pertolongan. Tapi, teriakan Suci bagaikan si bisu barasian. Tidak seorang pun diluar sana yang mendengar teriakannya.

Dari balik reruntuhan itu, melalui lampu handphone, Suci melihat mayat-mayat yang saling berhimpitan dan bertebaran. Tampak mayat-mayat mahasiswanya dan rekan sekerjanya dengan kondisi yang sangat miris. Kepalanya hancur, perutnya pecah, dagingnya keluar persis seperti kornet dan berbagai macam bentuk yg mengerikan.  Serta merta Suci merasakan  ketakutan yg teramat sangat. Ia mulai berfikir bahwa hidupnya harus berakhir sampai disitu bersama puluhan mayat yang turut terkubur dalam reruntuhan gedung.

Tak lama kemudian terbersit dibenaknya wajah anak sematawayangnya, Muhammad Fakih Afgani yang saat itu baru berusia 15 bulan. Semangat untuk bertahan hidup kembali bergelora. Ia tak henti-hentinya berdoa agar diselamatkan dari reruntuhan itu dan bisa bertemu dengan suami dan buah hatinya.

Ia kemudian mendengar seolah-olah anaknya tengah memberikan semangat dari luar reruntuhan untuknya. Dorongan semangat itulah yang membuat Suci semakin kuat untuk bertahan hidup.

"Mami pasti bisa, mami harus bisa keluar, mami harus kuat. Karena itu aku bisa bertahan selama 48 jam lamanya,”cerita wanita kelahiran 13 Juni 1984 itu.

Setelah 24 jam berteriak minta tolong tanpa makan dan minum, barulah orang-orang diluar sana menyadari bahwa ternyata masih ada org yg hidup didalam sana. Evakuasi penyelamatan mulai dilakukan. Cukup sulit untuk mengeluarkan Sari dari reruntuhan itu karena posisi kakinya yg terhimpit tepat dibawah perut mayat mahasiswanya yg pecah. Dari pengakuan suaminya, perlu 5kg minyak gorengpun untuk mengeluarkan kaki nya dari reruntuhan.

Dua hari setelah itu, tim sar berhasil mengeluarkan Suci dari reruntuhan gedung. sekitar jam 17.16 WIB dan dibawa ke RS Tentara Ganting, Padang. Tak lama, keluarga Suci berdatangan ke rumah sakit. Meski sudah terkurung dua hari, Suci masih sadarkan diri.  Bahkan selama proses evakuasi, dia sempat berbicara dengan suami dan papanya. Pihak keluarganya itu selalu memberikan dorongan untuk tegar.

Magrib itu juga Suci dioperasi dan diamputasi. Kedua kaki Suci yang mengalami luka-luka dan bercampur dengan darah mayat menyebabkan kaki Suci terinfeksi dan harus dipotong agar infeksi tidak menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Menurut pengakuan suaminya, Tommy Erwinsyah Suci sempat mengalami 2 kali masa kritis. Lepas dari masa kritis, trauma hebat yang membekas pascagempa menjadi masalah baru. Setiap malam ia berteriak ketakutan. Tak hanya itu, ia pun kerap takut akan bunyi dentuman keras dan kegelapan.

“Setelah sadar, aku baru melihat tubuh ku yang penuh akan selang, jarum infus, menghabiskan 7 kantong darah dan menghabiskan begitu banyak obat-obatan, serta harus disuntik beberapa kali dalam sehari.Tidak bisa di ungkapkan betapa sakitnya pada waktu itu,”ulasnya.

Masa penyembuhan ia lalui di RS Tentara Ganting selama satu bulan lebih.  Setelah melalui 7 kali operasi dan mengalami trauma hebat akhirnya Suci pun diperbolehkan pulang dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Kompleks Singgalang, Kecamatan Koto Tangah.

Ia percaya, tiga buah doa yg ia panjatkan sesaat setelah bangunan runtuh telah menolongnya dari maut yang mengintipnya. Ia terus memohon agar Allah tidak mengambil nyawanya dan mengizinkannya untuk membesarkan anaknya. Doa keduanyanya, ia memohon agar tuhan mengizinkannya untuk berbakti kepada suami dan kedua orang tuanya, serta berikan kesempatan untuk bertobat.

Tragedi itu menjadi sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya yg tidak dapat ia lupakan.  Ia percaya bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan yang lebih dahsyat untuk umatnya yang tidak mampu menjalaninya. Tuhan punya jalan terbaik untuk umat yang diberi Nya cobaan, karena tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia.










Korban Gempa Padang


Korban Gempa, Nisrina Azizah Lubis
"Senyum Mengembang Meski Cobaan Menghadang"

Kehilangan sebelah kaki kanannya, tak menjadi alasan untuk mengulum senyum di bibir manis gadis belia itu. Cacat fisik permanent yang ia alami karena gempa 30 September 2009 lalu tak membuatnya minder hingga mengucilkan diri dari teman-temannya. Gempa itu hanya mengambil sebelah kakinya, tapi tidak semangatnya. Sungguh, ketegarannya patut diteladani.

Laporan—Marisa Elsera

 

Nisrina Azizah Lubis, 14 mengaku sempat merasakan kiamat kecil menghampirinya kala sebelah kakinya harus dioperasi pada malam hari yang menewaskan ratusan warga Padang itu. Tak pernah terbersit dibenaknya akan kehilangan kaki yang biasa dia gunakan untuk bermain basket bersama teman-teman sekolahnya. Kecewa pada takdir yang digariskan Allah Swt padanya, sudah pasti. Tapi apa daya, memutar waktu kembali tentu mustahil.

 

Sore di hari yang naas itu, Rina, begitu Nisrina biasa dipanggil sedang menunggu giliran untuk oral test di LBA LIA, di jalan Khatib Sulaiman. Dua temannya sudah terlebih dahulu masuk ke ruangan, sedangkan Rina dan seorang teman lesnya tengah menunggu giliran untuk di tes. Tepat pukul 17.15 WIB, gempa itu mengguncang gedung bimbel dan merubuhkan gedung berlantai dua itu.

 

Spontan, Rina berlari ke bawah. Namun naas, baru saja melangkah, tangga depan gedung LBA LIA rubuh dan menimpa puluhan siswa LBA LIA. Beberapa dari mereka meninggal dunia, beruntung Rina masih bisa diselamatkan. Ia berteriak kesakitan hingga bala bantuan datang. Baru pukul 19.00 WIB tim sar berhasil mengeluarkannya dari reruntuhan dan menghantarnya ke tenda pengungsian. Karena kondisi kakinya yang makin parah, akhirnya malam itu juga sekitar pukul 22.00 WIB, telapak kaki sebelah kiri Rina harus dioperasi.

 

“Operasi itu membuat saya harus kehilangan telapak kaki sebelah kiri. Sungguh menyakitkan, tak hanya kaki yang sakit tapi hati pun ikut sakit,” kenangnya sambil tersenyum simpul.

 

Tak lama berselang, setelah seminggu di rumah sakit kaki kirinya mengalami infeksi. Gadis yang selalu rengking sepuluh besar di SMPN 1 Padang itu pun harus rela melakukan operasi kedua dan diamputasi hingga beberapa centi dari lutut. Sejak operasi pertama hingga operasi kedua, ia tak pernah  bisa tidur nyenyak. Dibenaknya selalu terngiang teriakan dan rintih kesakita kawan-kawannya bagai video yang diputar berulang-ulang.

 

Hingga kedatangan dua orang wartawan CNN Ciko dan Arwa mewawancarainya dan memberikan bantuan berupa tiket pesawat dan perawatan eksklusif di salah satu rumah sakit di Solo. Disanalah, kemudian Rina menjalankan perawatan intensif, menjalani operasi ortopedi dan mendapatkan kaki palsu.

 

Tak Bisa Tidur Setiap Malam

 

Lebih menyakitkan lagi, ketika di hari ulang tahunnya, 20 Oktober, ia harus menjalani terapi sebelum menggunakan kaki palsu. Tiga minggu usai operasi ortopedi, ia harus menjalankan latihan dengan mengenakan kaki palsunya. Berjalan dengan kaki palsu sambil mengapit tongkat penyangga di lengan terasa sangat menyakitkan.

 

“Setiap malam di minggu pertama berobat di rumah sakit Solo aku nggak bisa tidur. akhirnya dikasih obat tidur sama dokter. Tapi di minggu kedua dokter nggak mau ngasih obat tidur lagi karena menurut dia obat tidur paling mujarab adalah ketenangan psikis,”tuturnya.

 

Tenaga medis di rumah sakit Solo meminta Rina untuk lebih rilex dan mulai belajar melupakan tragedy itu. Namun, ketakutan dan trauma yang ia rasakan tak mudah ditepis begitu saja. Setiap malam, perasaan ketakutan akan gempa susulan terus menghantui gadis manis itu. Bahkan, tak jarang pula ia menangis karena keinginannya untuk tidur tak didorong oleh prikologisnya.

 

Setelah enam minggu menjalani perawatan medis di Solo, akhirnya Rina dan keluarganya kembali ke kota Padang. Reruntuhan gedung dan perumahan pascagempa masih terhampar di sekelilingnya. Anak pertama dari pasangan Mukhlis Lubis dan Sari Deni Nasution itu pun tak menepis ada perasaan was-was yang tak bisa ia ceritakan.

 

Butuh waktu untuk menerima kenyataan kehilangan sebelah kakinya. Namun, perlahan tekanan psikologis itu semakin memudar dan Rina pun kembali menjadi gadis ceria seperti sebelum gempa.

 

“Kalau aku rapuh, keluarga ku juga akan lebih rapuh. I've never gone with the wind. just let it flow. Let it take me where it wants to go,” tuturnya sambil menaiki tangga sekolah karena kelasnya 9.E berada di lantai II.

 

Berteman dengan Sesama Korban Gempa

 

Jika orang tertawa karena bahagia, itu biasa. Tapi jika tertawa karena ikhlas menerima takdir yang digariskan itu baru luar biasa. Rina memang gadis belasan yang luar biasa. Mampu menerima kenyataan meski pahit pun ia telan. Jikalau gundah mulai dirasa, ia tak berlari merengek pada ibunya, tapi ia justru merangkul teman-teman korban gempa yang juga mengalami cacat fisik.

 

“Karena musibah ini, aku jadi bersahabat dengan dua temanku Lani dan Yuna yang juga mengalami cacat. Kepada merekalah biasanya aku mengurai cerita. Aku nggak bisa bercerita pada teman sekelas karena mereka tidak merasakan apa yang aku rasa,”tuturnya. 

 

Cobaan yang ia derita kini, hanya dianggap sebagai luka kecil yang tidak  seberapa. Ia tak ingin menoleh ke atas, karena masih banyak orang-orang dibawahnya yang merasakan cobaan yang lebih dahsyat dari yang ia rasakan. Hidup tak hanya berhenti di satu titik ini saja, masa depannya masih panjang. Kelak ia yakin akan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.

 

Sementara itu, wakil kepala SMPN 1 Padang, Heni Marsia menguraikan, sosok gadis cerewet itu merupakan gadis ceria yang energik. Tak pernah kekurangan alasan untuk tersenyum. Bahkan, ia pun menjadi teladan bagi teman-temannya yang lain dalam menghadapi masalah.

 

“Tak pernah ia mengeluhkan sesuatu. Ketika pihak sekolah berniat menyediakannya kelas yang berada di lantai I, ia menolak. Alasannya, dia ingin diperlakukan seperti kawan-kawannya yang lain. Seperti sebelum mengalami kecelakaan itu,”tutur Heni.

 

Dipenghujung pembicaraan, Rina menitipkan satu doa. Ia memohon kepada Allah Swt dibukakan jalan menjadi seorang dokter tulang. Ia ingin membantu pasien yang juga mengalami nasib serupa dengannya. Kesempatan itu pasti ada. Tuhan tidak akan menimpakan cobaan pada makhluknya tanpa maksud dibalik itu.